RENUNGAN FILSAFATI; KUN FAYAKUN

Inama Amruhu Idza Arada Sya’ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun” (QS. Yasin: 82). Setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka dia berkata: “Kun” .

Segala sesuatu itu tercipta dari kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan hanya mengungkapkan kehendaknya melalui kata KUN, kita semua ini tercipta. Secara umum kaum beragama meyakini hal itu.

KUN bukanlah sebuah proses yang singkat dan terjadi begitu saja. Sebagaimana pemahaman ilmu astronomi, proses terbentuknya bumi dan semua benda-benda di alam ini melalui proses evolusi sekian milyar tahun dan masih terus berproses sepanjang masa.

Bagaimana pun proses dan wujudnya, yang justeru kita ingin kaji secara filsafati adalah soal KEHENDAK, KEINGINAN alias KAREP dalam bahasa Jawa.

Mari kita mulai dari Immanuel Kant.

Kant membedakan dua dunia. Yang pertama adalah dunia yang dikenal oleh kita, dunia “fenomenal”, yaitu dunia objek-objek inderawi yang “dikonstruksikan” oleh subjek yang mengerti melalui peralatan kognitifnya : persepsi indrawi —dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu— dan rasio —Verstand, dengan duabelas kategorinya.

Dunia kedua, yaitu dunia di belakang fenomen-fenomen itu, adalah Das Ding an Sich (realitas pada dirinya sendiri), bidang noumenal (dari nous, akal budi dalam bahasa Yunani) yang hanya kita ketahui bahwa ia ada, tetapi tidak kita ketahui bagaimana ciri-cirinya. Jadi, yang dapat kita ketahui hanyalah bidang fenomenal, sedangkan bidang noumenal tertutup bagi kita.

Kerangka pengertian Kant itu diambil alih oleh Schopenhauer, tetapi dengan dua perbedaan besar.

Bagi Schopenhauer, bidang noumenal itu bukan sebuah Das ding an sich, melainkan kehendak. Kehendak adalah realitas transendental, artinya realitas noumenal, di belakang realitas fenomenal atau empiris yang kita rasakan.

Jadi menurut Schopenhauer, realitas pada hakikatnya berupa kehendak. Di belakang dunia pengalaman kita, dunia empiris, terdapat Kehendak Transendental itu.

Yang kita tangkap dalam bidang fenomenal, jadi segala apa yang menjadi pengalaman kita baik di luar maupun di dalam diri kita, merupakan “gejalanya” atau, dalam bahasa Schopenhauer, idea (Vorstellung) kehendak transendental itu.

Dunia adalah kehendak dan bayangan (atau imajinasi); kehendak adalah realitas noumenal sebagai dasar, bayangan-bayangan adalah penjabarannya di alam fenomenal.

Perbedaan kedua antara Kant dan Schopenhauer ialah bahwa menurut Kant kita tidak dapat mengetahui Das Ding an Sich, sedangkan Schopenhauer merasa dapat mengetahuinya.

Hati kitalah yang membuka rahasia itu. Dalam hati kita temukan keinginan, hasrat, kerinduan, harapan, cinta, kebencian, pelarian, penderitaan, pemikiran, imajinasi; itulah hidup kita dan hidup kita adalah pengalaman dan pengalaman itu menyatakan diri sebagai kehendak.

Tubuh kita sama saja; kaki adalah objektivasi kehendak untuk berjalan, lambung untuk mencernakan, pendek kata, tubuh kita adalah obejektivikasi kehendak.yang kita rasakan pada diri kita itu lalu dialihkan pada seluruh alam semesta; segala gejala alam semesta pun bukan lain ungkapan atau fenomenisasi sebuah kehendak.

Kehendaklah yang mendasari segala kekuatan dan kejadian yang kita alami dalam alam semesta. Di belakang realitas fenomenal, realitas pengalaman empiris kita, terletak sebuah noumenal yang mendasarinya, yang bersifat kehendak.  Jadi, Schopenhauer menemukan bahwa Das Ding an Sich itu adalah Kehendak.

ANDALKAN INTUISI

Untuk sampai pada kesimpulan itu, schopenhauer menggunakan intuisi untuk mengenal kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari kita cenderung memisahkan gerakan tubuh dan kehendak. Gerakan tubuh itu lahiriyah dan kehendak itu batiniyah. Secara intuitif kita dapat menyadari bahwa gerakan tubuh dan kehendak itu satu dan sama.

Dalam pandangan Schopenhauer, gerakan tubuh yang bersifat lahiriyah itu tidak lain daripada “kehendak yang diobjektifkan”. Dengan peristilahannya sendiri, gerakan tubuh itu adalah “kehendak sebagai presentasi”. Dalam ruang dan waktu atau kenyataan sehari-hari kita menyaksikan keanekaan.

Menurut Schopenhauer semua itu hanya fenomenal, maya, sedangkan “Das Ding an Sich”mestilah tunggal. Dengan kata lain, di balik keanekaan lahiriyah itu ada sebuah kenyataan tunggal yang bersifat numenal. Itulah kehendak yang bersifat metafisis. Keanekaan itu hanyalah penampakan dari Kehendak. Jadi, gerakan magnit, tumbuh-tumbuhan, manusia, dll. Adalah penampakan dari kehendak metafisis yang tunggal.

Schopenhauer lebih rinci lagi mencirikan Kehendak itu sebagai “Kehendak untuk hidup” (der wille zum leben). Istilah “kehendak”  memberi kesan mengandung rasionalitas tertentu, tetapi Scopenhauer lebih memahaminya sebagai sesuatu yang buta, yaitu suatu dorongan untuk hidup, suatu kehendak purba (Urwille). Kehendak untuk mengejawentahkan diri dalam keanekaan penampakan, dari naluri hidup hewani yang paling rendah, sampai rasio manusia yang paling luhur.

Naluri rendah dan rasio dalam  pandangannya pada dasarnya merupakan penampakan Kehendak yang sama, yakni kehendak untuk hidup. Di sini Schopenhauer lalu menganut biologisme dalam pandangannya mengenai pengetahuan. Rasio manusia memiliki fungsi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiknya, sebagaimana tampak dalam industri dan teknologi.

Dengan kata lain, rasio dan pengetahuan adalah pelayan Kehendak, dan dalam arti ini fungsi rasio sama seperti fungsi cakar pada macan dan sayap pada burung. Dengan menganggap rasio atau roh sebagai budak Kehendak metafisis ini, Schopenhauer menolak Hegel yang menyamakan realitas dengan rasio. Yang sungguh-sungguh nyata bukanlah rasio, melainkan kehendak.

Kehendak adalah yang utama, abadi, tak bertempat, yang mengungkapkan dirinya dalam diri manusia sebagai dorongan, insting. Manusia mengetahui dirinya sebagai fenomena, bagian dari alam, sebagai badan organik yang meluas. Kehendak adalah diri yang nyata, badan adalah ekspresi dari kehendak.

Dunia adalah Kehendak dan idea. Kehendak ada di mana-mana, dan membimbing segalanya. Kehendak untuk hidup adalah asas kehidupan dan kesadaran. Kehendak mengendalikan pencerapan, memori, imajinasi, pertimbangan dan penalaran. Kita mencerap, yang kita kehendaki untuk mencerap. Kehendak disebabkan oleh kekuatan tidak sadar dan dorongan kehendak inilah yang menguasai intelegensi…

MASA SEKARANG ALLAH

RABBANAA INNAKA TA’LAMU MAA NUKHFII WAMAA NU’LINU WAMAA YAKHFAA ‘ALAA ALLAAHI MIN SYAY-IN FII AL-ARDHI WALAA FII ALSSAMAA-I

Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. (Ibrahim Ayat : 38)

Menafsirkan ayat itu, sesungguhnya apa yang kita simpan di dalam hati, apa yang kita simpan di dalam lemari rahasia hidup kita, apa yang kita sembunyikan dari orang lain, tetap saja terbuka dihadapan ALLAH SWT YANG MAHA TAHU.

Allah SWT Maha Tahu karena Pengelihatan dan Pendengaran-Nya menembus semua batas. Allah SWT tidak ada yang membatasi dan tidak mungkin bisa dibatasi oleh apapun juga. Ruang dan waktu ada di dalam genggaman kekuasaan-NYA.

ALLAH SWT juga tidak dibatasi oleh masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.  Allah lah pemilik waktu, oleh sebab itu ketika kita merasakan bahwa masa lalu sudah pernah ada, masa sekarang ini kita jalani dan masa depan belum terjadi maka bagi Allah SWT itu semua tidak berlaku. Bisa jadi waktu Allah itu sekarang saja, tidak ada masa lalu dan masa depan. Terserah pada Allah Yang Maha Berkehendak.

Itu sebabnya waktu Ilahi itu terkesan irasional dan tidak beraturan. Hanya terkesan dalam pandangan manusia biasa, namun pandangan manusia yang sudah mampu berada di maqom khusus, maka waktu Ilahi itu sesungguhnya adalah bentuk dan wujud dari kekekalan NYA.

Muhammad SAW dalam momentum isra’mikraj sudah menyaksikan akhirat melihat adanya neraka dan Surga juga adanya orang-orang di dalamnya. Nabi melompat ke masa depan, setelah pergelaran alam semesta ini berakhir.

Maka, manusia sekarang ini, saya, anda dan semua orang yang saat ini menyadari tulisan ini adalah orde masa lalu dan masa silam dari ALLAH SWT yang Maha aktual, yang tidak pernah ketinggalan kekiniannya, apalagi ketinggalan mode dan zaman.

Kita hakikatnya sudah tidak ada, kita sudah sirna, kita sudah dimakamkan dalam lauh al mahfudz, rekaman yang ada di database kehidupan setiap makhluk.

Kesombongan kita, keserakakan kita, kelupaan kita pada jati diri, kenistaan pilihan hidup kita dan kekotoran/polusi akibat tindakan kita sehari-hari itu sudah selesai. YA ALLAH,…. Masih adakah waktu buat kita untuk memperbaiki diri?

BERI KESEMPATAN PADA ANAK KECIL UNTUK BERIBADAH DI MASJID

INI PERENUNGAN BAGI ORANG DEWASA YANG SERING MENGUSIR ANAK-ANAK DARI MASJID.

BANYAK pengurus masjid tidak sabar menghadapi anak-anak kecil yang lalu-lalang keberadaannya di masjid. Tidak sedikit diantara mereka justru mengusir mereka keluar masjid, atau menempatkan di shaf paling belakang agar tidak mengganggu jamaah yang lain.

Padahal, nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam justru berinteraksi dengan anak-anak di masjid saat shalat. Perlakuan Rasulullah ini  sangat berbeda jauh dengan kenyataan yang dilakukan oleh sebahagian oknum Muslim terhadap anak-anak yang suka bermain di masjid.

Berikut beberapa kasus penanganan yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada anak-anak di masjid. Tulisan ini diambil dari Judul Asli طرد الأطفال من المسجد بحجة التشويش على المصلين  dari laman http://ar.islamway.net yang diterjemahkan  Kivlein Muhammad.

Tulisan ini diharapkan sebagai pelajaran, agar kita dapat meneladani baginda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.

Pertama, adalah Sahabat Nabi yang bernama Syaddad ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah datang – ke masjid- mau shalat Isya atau Zuhur atau Asar sambil membawa -salah satu cucunya- Hasan atau Husein, lalu Nabi maju kedepan untuk mengimami shalat dan meletakkan cucunya di sampingnya, kemudian nabi mengangkat takbiratul ihram memukai shalat. Pada saat sujud, Nabi sujudnya sangat lama dan tidak biasanya, maka saya diam-diam mengangkat kepala saya untuk melihat apa gerangan yang terjadi, dan benar saja, saya melihat  cucu nabi sedang menunggangi belakang nabi yang sedang bersujud, setelah melihat kejadian itu saya kembali sujud bersama makmum lainnya. Ketika selesai shalat, orang-orang sibuk bertanya, “wahai Rasulullah, baginda sujud sangat lama sekali tadi, sehingga kami sempat mengira telah terjadi apa-apa atau baginda sedang menerima wahyu”.  Rasulullah menjawab, “tidak, tidak, tidak terjadi apa-apa, cuma tadi cucuku mengendaraiku, dan saya tidak mau memburu-burunya sampai dia menyelesaikan mainnya dengan sendirinya.” (HR: Nasa’i dan Hakim)

عن شداد رضي الله عنه قال: خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاتي العشي الظهر أو العصر وهو حامل حسناً أو حسيناً، فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه عند قدمه ثم كبر للصلاة، فصلى، فسجد سجدة أطالها!! قال: فرفعت رأسي من بين الناس، فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد! فرجعت إلى سجودي، فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة، قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر أو أنه يوحى إليك؟ قال: “كل ذلك لم يكن، ولكن ابني ارتحلني، فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته” (رواه النسائي والحاكم وصححه ووافقه الذهبي)

Kedua, Abdullah Bin Buraidah meriwayatkan dari ayahandanya: Rasulullah sedang berkhutbah -di mimbar masjid- lalu -kedua cucunya- Hasan dan Husein datang -bermain-main ke masjid- dengan menggunakan kemeja kembar merah dan berjalan dengan  sempoyongan jatuh bangun- karena memang masih bayi-, lalu Rasulullah turun dari mimbar masjid dan mengambil kedua cucunya itu dan membawanya  naik ke mimbar kembali, lalu Rasulullah berkata, “Maha Benar Allah, bahwa harta dan anak-anak itu adalah fitnah, kalau sudah melihat kedua cucuku ini aku tidak bisa sabar.” Lalu Rasulullah kembali melanjutkan khutbahnya. (HR: Abu Daud)

وعن عبد الله بن بريدة عن أبيه رضي الله عنه قال: خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل الحسن والحسين رضي الله عنهما عليهما قميصان أحمران يعثران ويقومان، فنزل فأخذهما فصعد بهما المنبر، ثم قال: “صدق الله، إنما أموالكم وأولادكم فتنة، رأيت هذين فلم أصبر”، ثم أخذ في الخطبة (رواه أبو داود).

Ketiga, dalam Hadis lain diceritakan, bahwa Rasulullah shalat, dan bila beliau sujud maka Hasan dan Husein bermain menaiki belakang Rasulullah. Lalu, jika ada sahabat-sahabat yang ingin melarang Hasan-Husein maka Rasulullah memberi isyarat untuk membiarkannya, dan apabila setelah selesai shalat rasulullah memangku kedua cucunya itu. (HR: Ibnu Khuzaimah)

وفي حديث آخر: كان الرسول صلى الله عليه وسلم يصلي، فإذا سجد وثب الحسن والحسين على ظهره، فإذا منعوهما أشار إليهم أن دعوهما، فلما قضى الصلاة وضعهما في حجره (رواه ابن خزيمة في صحيحه).

Keempat, Abu Qatadah ra mengatakan: “Saya melihat Rasulullah saw memikul cucu perempuannya yang bernama Umamah putrinya Zainab di pundaknya, apabila beliau shalat maka pada saat rukuk Rasulullah meletakkan Umamah di lantai dan apabila sudah kembali berdiri dari sujud maka Rasulullah kembali memikul Umamah.” (HR. Bukhari & Muslim)

وقال أبو قتادة رضي الله عنه: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمامة بنت العاص -ابنة زينب بنت الرسول صلى الله عليه وسلم- على عاتقه، فإذا ركع وضعها وإذا رفع من السجود أعادها (رواه البخاري ومسلم).

Kelima, pada Riwayat Lain Dari Abu Qatadah, mengatakan “……… pada saat rukuk Rasulullah meletakkan Umamah di lantai dan apabila sudah kembali berdiri dari sujud maka Rasulullah kembali memikul Umamah. Dan Rasulullah terus melakukan hal itu pada setiap rakaatnya sampai beliu selesai shalat.” (HR:Nasa’i)

وفي رواية أخرى عن أبي قتادة رضي الله عنه قال: بينما نحن جلوس في المسجد إذ خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم يحمل أمامة بنت أبي العاص بن الربيع -وأمها زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم- وهي صبية يحملها، فصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وهي على عاتقه يضعها إذا ركع ويعيدها إذا قام، حتى قضى صلاته يفعل ذلك بها (رواه النسائي).

Keenam, dalam hadis yang lain Rasulullah berkata, “Kalau sedang shalat, terkadang saya ingin shalatnya agak panjangan, tapi kalau sudah mendengarkan tangis anak kecil -yang dibawa ibunya ke masjid- maka sayapun menyingkat shalat saya, karena saya tau betapa ibunya tidak enak hati dengan tangisan anaknya itu.” (HR: Bukhari Dan Muslim)

وفي حديث آخر: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إني لأدخل في الصلاة وأنا أريد إطالتها فأسمع بكاء الصبي فأتجوّز في صلاتي مما أعلم من شدة وجد أمه من بكائه” (رواه البخاري ومسلم).

Ketujuh, Anas meriwayatkan, “Pernah Rasulullah shalat, lalu beliau mendengar tangis bayi yang dibawa serta ibunya shalat ke masjid, maka Rasulullah pun mempersingkat shalatnya dengan hanya membaca surat ringan atau surat pendek. (HR: Muslim)

وفي رواية أخرى: قال أنس رضي الله عنه: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يسمع بكاء الصبي مع أمه وهو في الصلاة فيقرأ بالسورة الخفيفة أو بالسورة القصيرة (رواه مسلم).

Kedelapan, pada hadis lain diriwayatkan bahwa Nabi memendekkan bacaannya pada saat shalat Subuh (dimana biasanya selalu panjang), lalu sahabat bertanya: “Ya Raslullah kenapa shalatnya singkat, enggak biasanya? Rasulullah menjawab, “saya mendengar suara tangis bayi, saya kira ibunya ikutan shalat bersama kita, saya kasihan dengan  ibunya.” (HR:  Ahmad)

وفي حديث آخر أن النبي صلى الله عليه وسلم: جوّز ذات يوم في الفجر -أي خفف- فقيل: يا رسول الله، لم جوزت؟! قال: “سمعت بكاء صبي فظننت أن أمه معنا تصلي فأردت أن أفرغ له أمه” (رواه أحمد بإسناد صحيح).

Sembilan, Sahabat Nabi Yang Bernama Rabi’ menceritakan bahwa pada suatu pagi hari Asyura Rasululah mengirim pesan ke kampung-kampung sekitar kota Madinah, yang bunyinya “Barang siapa yang sudah memulai puasa dari pagi tadi maka silahkan untuk menyelesaikan puasanya, dan bagi yang tidak puasa juga silahkan terus berbuka”. Sejak saat  itu kami senantiasa terus berpuasa pada hari Asyura, begitu juga anak-anak kecil kami banyak yang ikutan berpuasa dengan kehendak Allah, dan kami pun ke masjid bersama anak-anak. Di masjid kami menyiapkan mainan khusus buat anak-anak yang terbuat dari wool. Kalau ada dari anak-anak itu yang tidak kuat berpuasa dan menangis minta makan maka kamipun memberi makanan bukaan untuknya”. (HR. Muslim)

وعن الربيع بنت معوذ رضي الله عنها قالت: أرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار التي حول المدينة: “من كان أصبح صائماً فليتم صومه، ومن كان أصبح مفطراً فليتم بقية يومه” فكنا بعد ذلك نصومه ونصوم صبياننا الصغار منهم إن شاء الله، ونذهب إلى المسجد فنجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناها إياه عند الإفطار (رواه مسلم)،

Demikianlah betapa Rasulullah dan para Sahabat memanjakan anak-anak di masjid meski lumayan seru karena yang namanya anak-anak pasti akan menimbulkan berbagai gangguan keributan dan tangisan yang menyebabkan shalat atau ibadah jadi terganggu.

Namun, ada saja oknum pengurus masjid yang tetap ngotot ingin mengusir anak-anak dan menjauhkan mereka dari masjid dengan berdalil kepada hadis lemah yang berbunyi:

“Jauhkan masjid Anda dari anak-anak dan orang gila.”

“جنبوا مساجدكم صبيانكم ومجانينكم”

“Hadis diatas lemah dan tidak jelas asalnya dari mana, sehingga tidak bisa dijadikan dalil”. Begitu kata para ulama Hadis, seperti Al-Bazzar dan Abdul Haq Al-Asybili. Sebagaimana Ahli Hadis Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar dan Ibnu Al-Jauzi dan Al-Munziri dan Haitsami dan ulama-ulama lain juga melemahkan hadis tersebut. Banyak kalangan awam yang mengira bahwa hadis tersebut benar diriwayatkan dari Rasulullah sehingga membuat mereka senang benar  mengusir anak-anak dari masjid dan sangat tidak suka kalau melihat anak-anak bermain di masjid. Ini adalah sikap dan tindakan yang sangat salah dan tidak benar.

Yang benar adalah Islam sangat peduli dengan anak-anak, dan memerintahkan para ayah dan orang tua kerabat yang bertanggungjawab pada anak-anak untuk menyuruh anak-anaknya shalat sejak umur 7 tahun. Dan tempat yang benar dalam mengajarkan anak-anak shalat dan membaca Al-Quran dan hukum-hukum tajwid dan materi-materi keislaman lainnya, adalah Masjid.

Seperti itu petunjuk dan pedoman yang diajarkan Rasulullah pada ummatnya terkait interaksi kita kepada anak-anak di masjid. Sehingga siapapun tidak boleh mengusir anak-anak dari masjid, sebab mereka adalah pemuda-pemuda harapan masa depan.

Allah memerintahkan kita agar meneladani Rasulullah pada segala hal, baik terkait urusan dunia maupun akhirat, sehingga sudah selayaknyalah kita mengikuti dan meladani Rasulullah dalam membiasakan anak-anak kita untuk mendatangi masjid dan bermain di masjid, serta tidak membiarkan mereka ngumpul-ngumpul tidak jelas di ujung gang atau jalan yang hanya akan menyebabkan akhlak mereka menjadi buruk karena pengaruh lingkungan dan teman-teman mereka yang tidak sehat.

Dan andainya pun sebahagian anak-anak yang datang ke masjid sering menjadi gangguan bagi orang-orang yang sedang shalat, baik karena suara tangisan mereka, jeritan dan lengkingan suara, namun jamaah masjid tidak boleh meresponnya dengan kasar atau memarah-marahi anak-anak tersebut atau orang tua anak-anak, yang hanya akan menambah-menambah keributan baru saja. Serahkan hal itu kepada para pengurus masjid atau remaja masjid untuk menyelesaikan masalah anak-anak tersebut dengan bijak dan baik seperti metode yang dilakukan oleh Rasulullah.

Dan yang perlu diingat dan dicatat dan diamalkan adalah sikap lemah lembut dalam menyelesaikan masalah anak-anak di masjid.

Rasulullah pernah bersabda, “Segalanya sesuatu yang dibarengi dengan kelembutan niscaya akan membuatnya menjadi lebih cantik dan indah. Jika kelembutan terenggut, segalannya akan menjadi rusak dan jelek.” (HR: Muslim)

“إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ولا ينزع من شيء إلا شانه” (رواه مسلم).

Rasulullah adalah teladan terbaik bagi kita. Pernah terjadi seorang Arab Badui masuk ke dapam  Masjid Nabawi, lalu Si Badui buang air kecil di dalam masjid itu. Melihat si badui pipis di masjid maka para sahabat nabi marah. Menanggapi hal ini Nabi pun menyelesaikannya dengan  bijak dan lembut dan berkata, “Biarkanlah badui itu, nanti jika pipisnya sudah selesai mohon cuci dan siram kencingnya itu dengan air. Kalian -umat islam- ini  diutus bukan untuk bikin repot, melainkan untuk mempermudah.” (HR: Bukhari & Muslim)

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قام أعرابي فبال في المسجد!! فتناوله الناس، فقال لهم النبي صلى الله عليه وسلم: “دعوه، وهريقوا على بوله سجلاً من ماء أو ذنوباً من ماء فإنما بعثتم ميسرين ولم تبعثوا معسرين” (رواه البخاري ومسلم).

Islam melarang mengusir anak-anak keluar masjid. Islam justru mewajibkan umatnya  membiasakan anak-anak datang ke masjid untuk belajar shalat, belajar  membaca Al-Quran, belajar tajwid dan belajar hukum syariat lainnya.*/

Penulis:

Syafruddin Ramly, pernah dimuat di media online.