Wawasan Mistik Nusantara: FENOMENA KERAWUHAN

Artikel berikut ini dimaksudkan untuk menambah wawasan kita terkait berbagai fenomena mistik yang ada di tanah air yaitu kerasukan (kerauhan). Apa sesungguhnya kerauhan itu? Silahkan disimak artikel berjudul: KERAUHAN DALAM RITUAL AGAMA HINDU DI BALI yang ditulis oleh I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag.,M.Fil.H, Dosen Filsafat dan Teologi IHDN Denpasar.

Kerauhan merupakan tradisi yang diwariskan para leluhur masyarakat Bali sebagai pembuktian tentang kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Kerauhan berbeda dengan kesurupan, sebab Kerauhan dilaksanakan dalam sebuah ritual keagamaan yang terdapat pemuput upacara (sulunggih/pemangku pura), upacara atau upakara, hari suci atau piodalan, rangkaian upacara, pelaksanaanya di tempat suci (pura), adanya Tapakan Kerauhan, dilaksanakan umat (pengempon pura), adanya prosesi sakralisasi dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut kekuatan suci yang masuk dalam tubuh Tapakan Kerauhan ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, sedangkan apabila ada orang kesurupan tanpa ada factor-faktor diatas, patut dipertanyakan roh apa yang memasuki tubuh orang tersebut.

Dalam fenomena Kerauhan terdapat beberapa pembahasan tentang masuknya kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa dalam Teologi loKal masyarakat Hindu di Bali, fenomena tersebut antara lain pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana) Kerauhan. Hadirnya Tapakan Kerauhan dalam ritual agama di Bali, akan menambah keyakinan umat dalam melaksanakan yajna dan umat mendapatkan penjelasan langsung pelaksanaan yajna yang benar.

I. Pendahuluan

Sebelum agama Hindu masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki sebuah kepercayaan, adat-istiadat dan praktek-prektek religi tersendiri yang banyak relevan dengan adat istiadat dan kebudayaan Hindu, sehingga agama Hindu sangat mudah di terima Bangsa Indonesia. Agama Hindu tidak didasarkan dogma yang dikotbahkan oleh sekelompok guru tertentu. Hinduisme terlepas dari kefanatikan agama, sehingga dikenal dengan sanatana dharma, yaitu agama yang abadi, yang akan ada selamanya (Donder, 2006: 19). Berdasarkan hal tersebut Agama Hindu juga mengajarkan kepercayaan terhadap roh, masyarakat nusantara pun memiliki kepercayaan yang sama, yaitu percaya terhadap roh-roh yang menghuni bagian-bagian tertentu dari alam yang kemudian disebut sebagai animisme. Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka masyarakat nusantara sangat mempercayai roh-roh dapat mempengaruhi pikiran manusia ataupun masuk dalam tubuh manusia.

Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, memiliki sebuah tradisi, yaitu kesurupan dalam setiap pelaksanaan ritualnya sebagai unsur yang memantapkan pelaksanaan ritual tersebut. Kesurupan berasal dari kata “surup” yang berarti masuk. Jadi kesurupan adalah fenomena masuknya roh lain ke dalam tubuh manusia, yang kemudian mengendalikan kesadarannya. Namun demikian di Bali, kesurupan disebut Kerauhan, asal katanya dari “rauh”, berarti datang. Kedatangan energi Dewa inilah, dibeberapa desa di Bali, sampai sekarang masih diwarisi, sebagai bentuk Tuhan turun ke dunia membina umatnya.

Masyarakat Indonesia memiliki ciri bersifat majemuk, ditandai dengan adanya perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan. Demikian pula dengan tradisi yang ada di daerahnya memiliki perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Fenomena yang terjadi di masyarakat memunculkan berbagai isu yang tidak jelas tentang Kerauhan. Ada yang mengatakan Kerauhan adalah orang yang kemasukan setan atau orang yang dimasuki roh jahat. Dengan munculnya isu tersebut menimulkan persepsi negatif di masyarakat atau umat lain tentang Kerauhan.

Umat Hindu meyakini, roh yang masuk pada orang Kerauhan tersebut diyakini sebagai roh yang baik atau yang suci yang akan memberikan petunjuk bagaimana melaksanakan ritual, sehingga melalui Kerauhan itu masyarakat dapat mengetahui apakah ritualnya itu lengkap, sempurna, atau kurang. Walaupun demikian masing-masing desa di Bali menafsirkan hal Kerauhan itu secara berbeda-beda, ada yang menafsirkan sebagai pertanda kurangnya sarana upacara, ada juga yang menafsirkan bahwa upacara telah sempurna. Umat Hindu khusunya di Bali melihat masalah fenomena Kerauhan yang selalu terjadi pada setiap upacara khususnya Upacara Dewa Yadnya ditafsirkan sebagai unsur yang mengesahkan proses pelaksanaan ritual. Orang Kerauhan megatur ritual mana yang didahulukan dan ritual mana yang dilakukan kemudian. Ketika orang Kerauhan sedang mengatur prosesi ritual itu, tak seorang pun berani membantahnya, karena diyakini bahwa roh yang ada pada orang Kerauhan itu adalah roh dewa.

Datangnya kekuatan roh para dewa yang memasuki tubuh manusia tidak dilakukan dengan sembarangan, tetapi dimulai dari sebuah proses yang dapat menghubungkan diri menuju Tuhan. Hindu mengajarkan, empat jalan atau cara menghubungkan diri menuju Tuhan yang disebut Catur Marga, antara lain Jnana Marga (menghubungkan diri dengan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh dengan tidak mengharapkan balasan), Raja marga (jalan melakukan tapa, brata dengan tekun dan disiplin), Karma Marga (jalan bekerja dan berbuat dengan sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan) dan Bhakti Marga (jalan menyerahkan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih setulus-tulusnya). Dengan memahami Catur Marga umat Hindu mampu menghubungkan diri menuju Tuhan, sehingga tercapainya tujuan agama Hindu yaitu Moksatam Jagat Hita Ya Ca Iti Dharma

Dalam kitab suci Bhagawad Gita telah merangkum semua jalan atau cara umatnya untuk dapat membayangkan Tuhan Yang maha Esa. Bagi mereka yang tinggi pengetahuan rohaninya menghayati Tuhan dengan jalan jnana marga dan raja marga, dimana Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam pikirannya sebagai Impersonal God dalam wujud pikiran maupun kata-kata. Bagi mereka yang pemahamannya sederhana menghayati Tuhan Yang Maha Esa dengan jalan bhakti marga dan karma marga, digambarkan sebagai Personal God, berpribadi sebagai wujud yang agung, maha pengasih, maha besar, maha penyayang dan lain sebagainya. Ajaran Hindu adalah ajaran yang universal dan fleksibel begitu pula dalam memahami dan menghayati keberadaan Tuhan,

Ajaran Hindu memberikan jalan Karma Marga dan Bhakti Marga kepada umat Hindu yang tingkat pemahaman terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat sederhana, dalam kerangka dasar agama Hindu kondisi umat seperti ini lebih didorong atau ditekankan untuk melaksanakan ritual dibanding dengan Jnana Marga dan Raja Marga. Hal ini sangat nyata terlihat pada tata cara keagamaan umat Hindu di Indonesia, terutama umat Hindu di Bali. Dengan pelaksanaan Upacara para dewa berwujud pratima dilinggihkan pada jempana yang diempon masyarakat. Kehadiran para dewa dalam Upacara secara sakala (nyata) bermakna menambah rasa persatuan dan persaudaraan antara masyarakat, karena dalam keseharian komunikasi masyarakat sangat kurang, hal ini disebabkan masyarakat umat Hindu khususnya generasi muda banyak merantau keluar daerah. Secara Niskala (alam gaib) hadirnya kekuatan para dewa membawa fibrasi kesucian dan kekhidmatan. Itulah yang menyebabkan ritual keagamaan penting untuk dilestarikan.

Pada upacara piodalan di masing-masing pura sejak pagi hingga malam iring-iringan pratima didatangkan terus menerus. Dengan diiringi tabuh gamelan dan pelengkap upacara lainya seperti tedung, lontek, pasepan dan lain sebagainya serta dituntun oleh Tapakan Kerauhan yang jumlahnya lebih dari satu orang. Orang yang Kerauhan itu membawa sarana benda-benda tajam berupa: keris, trisula, tombak dan lain sebagainya sambil menikam-nikam dadanya dan berteriak dengan sekeras-kerasnya, sebagai pertanda bahwa Ida Bhatara yang merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa, telah hadir diiringi oleh para rencang-Nya yang diyakini sebagai pusat kekuatan para dewa. Dalam iring-iringan itu, umat Hindu sebagai pengempon pura maupun masyarakat umum yang sedang melewati iring-iringan Ida Bhattara/Bhattari segera turun dari kendaraan dan duduk bersila ataupun jongkok sebagai wujud hormat dan bhakti kehadapan Ida Battara/bhattari sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa.

Pada saat Iring-iringan Ida Batara dari pura, Tapakan Kerauhan terus menerus menancapkan senjata tajam yang telah dipasupati ke dadanya. Hal ini disambut oleh para pemangku dengan ritual penyamblehan, yang dilakukan oleh Tapakan Kerauhan. Pada peristiwa itu tiba-tiba Tapakan Kerauhan melakukan perilaku di luar kemampuan manusia biasa, seperti: makan api, makan ayam hidup, makan kelapa utuh atau belum dikupas, serta gerakan-gerakan lainya yang tidak dapat dirasiokan. Tapakan Kerauhan tersebut tidak merasa takut, tubuhnya kebal dibakar api, kebal terhadap senjata tajam dan memiliki kekuatan luar biasa. Berdsarkan hal tersebut kekuatan yang dimiliki Tapakan Kerauhan, merupakan sifat-sifat kemaha kuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa, tentunya ada beberapa fenomena yang dapat menjelaskan hal tersebut.

II. Pembahasan

Tinjauan atau analisis fenomena Kerauhan difokuskan kepada lima hal, yaitu pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan, dan material (sarana Kerauhan). Kelima hal ini membuktikan kekuatan suci Tuhan benar-benar hadir dalam setiap proses ritual yang dilaksanakan. Dengan pembuktian ini masyarakat dalam menghayati keberadaan Tuhan merasa dekat dan merasakan kemahakuasaan-Nya, sehingga dengan pembuktian tersebut akan menambah sikap sradha dan bhakti masyarakat dalam melaksanakan setiap ritual keagamaan. Kelima hal tersebut sebagaimana uraian di bawah ini:

2. 1 Pura Tempat Kerauhan

Kehidupan masyarakat di Bali, khususnya di masing-masing Desa Pakraman pastilah memiliki sebuah tempat suci/pemujaan yang disebut Pura. Istilah “Pura” berasal dari kata Sansekertha, yang berarti “kota” atau “benteng” yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakan kata “pura” untuk menamai tempat suci atau tempat pemujaan digunakan kata kahyangan atau hyang. Pada zaman Bali kuna yang merupakan data tertua ditemukan dalam Prasasti Sukawana A 1 Tahun 882 M. Dalam prasasti Trunyan A 1 tahun 891 M, ada disebutkan ……..…”Sanghyang di turunan“ yang artinya “tempat suci di Trunyan” Demikian pula dalam prasasti Pura Kehen A (tanpa tahun), disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda, yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda (Titib, 2000:91).

Selain itu Pura juga sebagai sarana umat menyampaikan rasa bhakti dan syukur bahkan unek-unek umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa beserta manifestasi-Nya. Rasa bhakti dan syukur masyarakat umat Hindu di Bali khususnya di Desa Pakraman diwujudkan dalam bentuk pembangunan tempat suci yang disebut Pura Kahyangan Tiga yang merupakan warisan Mpu Kuturan. Sebab pada zaman tersebut Mpu Kuturanlah yang memprakasai terbentuknya Desa Adat/Pakraman, sehingga lebih mudah mengatur tatanan kehidupan masyarakat Bali. Setelah dibentuk Desa Adat/Pakraman agar dapat menunjang keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka di setiap Desa Adat/Pakraman dibuatkan tempat pemujaan/Kahyangan Tiga sebagai wujud bhakti kehadapan Tri Murti yaitu Dewa Brahma sebagai dewa pencipta diistanakan di Pura Desa/Bale Agung, Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara di istanakan di Pura Puseh dan Dewa Siwa sebagai dewa pelebur di istanakan di Pura Dalem.

Selain Pura Kahyangan Tiga di masing-masing Desa Pakraman, biasanya memiliki pura-pura besar lainya yang disungsung di sebuah Desa Pakraman. Hal ini tergantung dari historis masing-masing Desa Pakraman tersebut. Pura merupakan tempat suci yang dihormati oleh setiap pengemponnya. Pendirian pura tidak mudah didirikan, sebab tidak sembarang tempat dapat dijadikan kawasan membangun pura dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah yang layak dijadikan pura adalah tanah yang berbau harum, yang gingsing dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang ideal membangun pura adalah seperti yang dikutip dari bhavisya purana dan brhat samhita yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangin sagaragiri atau sagara-giri adumuka”, tempatnya tentu sangat indah dan memancarkan fibrasi kesucian yang memancar pada lokasi yang ideal di kawasan tersebut (Titib, 2003: 91).

Disamping itu, pendirian pura memerlukan sarana upacara, seperti pemlaspasan, mepadagingan atau upacara paling sederhana Ngambe, serta melarang mereka masuk pura akibat cuntaka, salah satunya ada upacara kematian, wanita haid, pertumpahan darah dan semua yang telah diatur dalam agama Hindu, jika itu dilanggar, maka wajib dibuatkan upacara penyucian ulang. Pada waktu upacara piodalan Ida Sang Hyang Widhi, para dewata, roh leluhur, beserta manifestasi-Nya dimohon untuk hadir, sebagai tamu agung yang patut menerima ritual persembahan, berupa upakara, tari-tarian dan lain sebagainya, setelah kehadiran para dewa dalam upacara piodalan, maka seluruh umat diberikan anugrah sesuai wujud bhakti dalam menjalani kehidupanya.

Begitu sulitnya mendirikan pura, setelah upacara pemlaspasan keberadaan pura mesti dijaga kesucianya. Hal ini telah diatur lembaga Hindu dengan menetapkan kawasan suci dibatasi dengan beberapa aturan yang telah ditetapkan, seperti Pura Kahyangan jagat, areal kawasan sucinya sepanjang 5 km, mesti bebas dari berbagai kekotoran yang disebabkan oleh manusia, sehingga secara nyata lingkungan sekitar pura dapat menyeimbangkan ekologi yang selama ini mulai rusak. Sebab Pura diibaratkan atau dipercaya sebagai replica kahyangan tempat para Dewa. Jadi semuanya mesti indah dan ditata sebagai tempat Dewa di dunia, oleh karena itu diperlukan perlindungan, agar kesucian pura tetap terjaga, sehingga para dewa berkenan hadir dan memberikan waranugraha kepada para umatnya.

Setelah upacara pemlaspasan dan keberadaan pura dijaga kesucianya, berdasarkan bhakti masyarakat, tentu mengembangkan rasa cipta, rasa dan karsa dalam menjaga eksistensi pura masing-masing, sehingga terwujudlah tradisi yang berlaku sampai hari ini. Salah satu tradisi unik sebuah pura yaitu adanya tradisi Kerauhan, dimana Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di pura tersebut dihadirkan pada waktu piodalan, sebagai wujud kehadiran beliau, para dewa menunjukan kemahakuasaan dengan merasuki tubuh seseorang dengan kekuatan sucinya, sehingga orang tersebut berperilaku tidak seperti manusia biasa, yaitu kebal terhadap senjata tajam yang sengaja ditancap-tancapkan ke dalam tubuhnya, atau bermain-main dengan api tanpa ada rasa sakit sedikitpun, membuka kelapa dengan gigi dan lain sebagainya.

Demikian keberadaan pura yang dibuat umat Hindu dengan sejarahnya masing-masing dan sangat disakralkan serta dijaga kesuciannya, sampai melahirkan tradisi unik yang tetap dilaksanakan sampai hari ini, sehingga apabila seseorang Kerauhan di pura (tempat suci), yang merasuki tubuhnya tiada lain adalah perwujudan tuhan dan manifestasi-Nya, bukan makluk lainnya, berbeda halnya jika seseorang trance diluar pura, seperti di sekolah, tempat hiburan dan lain sebagainya. Orang kerasukan tersebut perlu dipikirkan apakah yang merasuki tubuhnya adalah kekuatan dewa atau kekuatan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, dibawah ini akan dipaparkan sebuah pura yang memiliki tradisi Kerauhan dalam ritual agamanya

PURA PETILAN KESIMAN

Pura ini terletak lebih kurang 4 km arah timur Kota Denpasar, di wilayah Desa Kesiman dan sangat mudah dijangkau dengan transportasi baik pribadi maupun umum. Pura ini dikenal dengan upacara‘Ngerebong’, suatu tradisi yang melibatkan seluruh penyungsung pura yang mengalami ‘Kerauhan’ dengan menusukkan ‘keris’ ke dadanya sambil mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali. Di pagi hari berlangsung ‘tabuh rah’ yang merupakan bagian ritual upacara. Piodalan di Pura ini berlangsung setiap 210 hari sekali (6 bulan kalender Bali), yaitu Redite Pon Medangsia, delapan hari setelah hari raya Kuningan.

Bertepatan dengan puncak upacara ratusan masyarakat mengeremuni areal pura. Upacara berlangsung dengan meriah karena upacara sangat unik, khususnya di Kota Denpasar. Pada awalnya Upacara Pengrebongan merupakan salah satu rangkaiaan pujawali di Pura Dalem Kesiman yang berlangsung pada hari Wraspati Wage Wuku Sungsang yang bertepatan dengan hari Sugian Jawa. Pura Dalem Kesiman merupakan pura tempat pemujaan keluarga kerajaan Kesiman. Setelah Upacara di Pura Dalem Kesiman dilanjutkan dengan upacara di Pura Petilan. Prosesi upacara di Pura ini berlangsung pada hari Umanis Galungan, adapun upacara yang dilaksanakan antara lain Upacara Panyekeban, Nyanjan, Pemendakan, Nuwur, Mider Bhuwana, Mider Gita, Nanda (Nyapu Jagat), Mawayang-wayang, melanang-lanang, mebrata dan sebagai penutup Upacara Penyimpenan semua rangkaian upacara diikuti semua prasanak pura Petilan.

Pada hari soma Paing Wuku Langkir dilaksanakan Upacara Pemendakan di Pura Petilan. Seminggu kemudian dilaksanakan Upacara yang terkenal dengan Upacara Pengerebongan. Upacara ini sangat terkenal dan dinanti seluruh masyarakat, khususnya di wilayah kesiman. Upacara Pengerebongan merupakan Upacara Butha Yadnya, biasanya dilaksanakan pukul 09.00 dengan pelaksanaan Upacara Tabuh Rah dengan tiga pasang adu ayam, tujuanya untuk menetralisir kekuatan negative agar menjadi kekuatan positif, sehingga prosesi upacara dapat berjalan dengan lancer dan masyarakat diberikan kebahagiaan dalam melasakan upacara atau setelah Upacara berlangsung. Acara dilanjutkan dengan hadirnya manca dan prasanak pangerob Pura Petilan dengan pelawatan Barong dan Rangda yang diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti Upacara Pangerebongan, sebelumnya dilaksanakan terlebih dahulu Upacara di Pura Musen sebelah timur Pura Petilan di pinggir Barat Sungai Ayung, setelah kembali dari proses penyucian, barulah Upacara Pengerebongan dimulai.

Upacara Pengerebongan diawali dengan Upacara Nyanjan dan Nuwur Ida Bhattara, tujuanya menghadirkan kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari dari kahyangan untuk dihadirkan di alam manusia, khususnya ke para manca dan prasanak pangerob. Pada Upacara Nyanjan atau nuwur inilah pengusung Rangda dan pepatih mulai menunjukan perilaku Kerauhan. Selanjutkan pelawatan Rangda dan Barong beserta para pepatih menunjukan perilaku Kerauhan diarahkan ke kori agung kemudian mengelilingi wantilan sebanyak tiga kali melaksanakan prosesi prasawia, yaitu Ida Bhattara/Bhattari beserta para pepatih mengelilingi wantilan dari timur, kemudian ke utara, barat, selatan dan kembali ke timur sebanyak tiga kali. Pada saat Prasawia inilah pepatih yang Kerauhan menunjukan perilaku diluar logika manusia, yaitu seluruhnya melakukan gerakan Ngurek, yaitu senjata yang beraneka macam ragam ditikam-tikam ke dadanya, tanpa ada luka di kulitnya, semuanya tampak ada kekuatan gaib yang merasuki tubuh para pepatih tersebut, sambil berteriak-teriak tubuh terus ditikam dengan senjata tanpa ada rasa sakit sedikit pun, semakin alunan gamelan bersuara, maka semakin keras tusukan-tusukan senjata di bagian tubuhnya, bahkan ada yang menancapkan keris tajam di mata, kedua kening dan lain sebagainya, tanpa ada sakit.

Setelah prosesi tersebut para pepatih yang Kerauhan kembali ke gedong agung dengan Upacara Pengeluwur, serta para pepatih yang Kerauhan disadarkan hanya dengan percikan air suci yang telah dipersiapakan, para Jro Mangku di Pura tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kekuatan suci Ida Bhattara/Bhattari yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa telah hadir dan membuktikan kepada umat-Nya dengan kekuatan merasuki tubuh para pepatih berupa trance Ngurek, berarti kekuatan suci yang dihadirkan melalui upacara penyanjan telah berhasil dilaksanakan tanpa kesalahan, yaitu dibuktikan dengan kebalnya para pepatih dari serangan senjata tajam, yang merupakan salah satu ciri kemahakuasaan Tuhan.

Upacara tidak berlangsung hanya demikian, sebab setelah Ida Bhattara/Bhattari yang hadir dipersilakan untuk dilinggihkan, Upacara dilanjutkan dengan Upacara Maider Bhuwana, yaitu Para Ida Bhattara/Bhattari kembali mengelilingi wantilan berupa Pradaksina, yaitu kebalikan dari Prasawia, dimulai dari arah timur, kemudian ke selatan, ke utara dan kembali ketimur sebanyak tiga kali, upacara ini dilaknsakan sebanyak tiga kali bertujuan mengantar beliau dari alam bhur loka, menuju alam bwah loka dan terakhir kealam swah loka tempat para dewa berstana. Dalam upacara ini para pepatih atau umat kembali mengalami Kerauhan atau trance. Hal ini menunjukan kekuatan suci Ida Bhattra/Bhattari yang akan diantar kembali kealam Swah Loka benar-benar hadir dan kembali kealam para dewa. Pada saat prosesi ini suasana dalam areal pura berlangsung hidmat ditambah suara gambelan dan teriakan para pepatih sambil senjata terus tertancap-tancap dalam tubuhnya dalam keadaan tidak sadarkan diri.

2.2 Waktu Kerauhan

Waktu Kerauhan dalam ritual agama Hindu di Bali dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu waktu umum dan khusus. Secara umum waktu Kerauhan dapat dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu pada waktu Nedunang Ida Bhattara, Nglungang Ida Bhattara dan Ngwaliang Ida Bhattara. Sedangkan waktu khusus dapat juga dibagi menjadi 3 yaitu pada waktu kurangnya sarana upacara, pada waktu puncak upacara dan ketika beliau memberikan nasehat atau bawos.

Pengertian tentang Nedunang Ida Bhattara berarti menghadirkan Ida Bhattara yang berstana di sebuah Pura. Biasanya Upacara Nedunang ini tidak sembarangan dilakukan, tentunya ada beberapa persyaratan yang dilaksanakan yaitu adanya upacara, adanya orang suci yang menghadirkan beliau, adanya sarana upacara sebagai persembahan. Tanpa syarat itu Upacara Nedunang tidak dapat dilaksanakan. Pada waktu Upacara Nedunang sangat terasa suasana yang sangat sakral, dimana upacara ini diawali dengan persiapan upacara di seluruh Pelinggih, kemudian dilaksanakan Upacara Pemendakan dengan diturunkanya jempana dan arca-arca. Pada waktu ini suasana semakin khusuk dengan suara baleganjur, suara genta, kul-kul, lelontekan, tedung, kidung dan pengempon pura seluruhnya menyiapkan perlengkapan upacaranya. Dalam keadaan yang khusuk ini secara spontan Tapakan Kerauhan berteriak secara histeris dan meminta senjata yang telah dipasupati, tentunya Tapakan Kerauhan yang hadir lebih dari satu orang. Ketika Tapakan Kerauhan telah Trance sambil menikam-nikam dadanya dan beberapa lagi merangkak, merayap dan diam seperti seekor macan, ular dan kuda, maka upacara dilanjutkan dengan melaksanakan proses purwa daksina mengelilingi areal Pura, prosesi ini diiringi dengan gong baleganjur dan beberapa atribut seperti tedung, lelontekan, jempana dan pengiring dari pura bersangkutan. Setelah Upacara Purwa Daksina para pemangku menyiapkan Upacara Pemendakan, yang mana sarana upacara ini antara lain kelapa, api takep, dupa, arak berem, ayam hitam dan putih, serta beberapa sesayut yang dirangkai begitu rupa semua sarana tersebut dialasi dengan tikar. Sedangkan jempana dan arca-arca berdiri di depan sarana ritual tersebut, kemudian para Tapakan Kerauhan mengambil sarana dan berperilaku diluar pikiran manusia yaitu memakan api, dupa, ayam yang masih hidup dan beberapa lagi berebut kelapa yang masih utuh, tanpa rasa sakit ataupun panas. Fenomena ini terjadi selama 30 menit dan merupakan ciri bahwa Upacara Nedunang Ida Bhattara telah berhasil dengan hadirnya kekuatan yang memasuki Tapakan Kerauhan.

Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Nglungang Ida Bhattara, pada upacara ini berlangsung setelah Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jadi ketika Ida Bhattara telah hadir diundang ke dunia, maka beliau diiring ke pesucian atau ke beji oleh pengempon pura. Dengan Ida Bhattara di istanakan di sebuah jempana yang dibuat khusus dengan kayu pilihan untuk diiring ke pesucian, prosesi inilah yang disebut Nglungang Ida Bhattara. Prosesi Nglungang ini diikuti oleh para pengempon pura, penabuh gamelan dan beberapa Tapakan Kerauhan. Prosesi ini diawali dengan membuka barisan berjajar dua, yang masing-masing membawa pecanangan, tedung, lelontekan, pasepan, diikuti suara genta dan gamelan beleganjur. Menjelang keberangkatan menuju pesucian, disinilah Fenomena karauhan terjadi lagi bahkan lebih banyak dibanding Upacara Nedunang Ida Bhattara. Jarak yang ditempuh iringan ini beraneka ragam ada yang dekat dan ada pula yang jauh, tergantung tempat pesucian di masing-masing pura. Prosesi Nglungang Ida Bhattara ke tempat pesucian berlangsung dengan suasana sakral, terlebih lagi Tapakan Kerauhan berteriak-teriak sambil menikam-nikam dadanya berada di barisan terdepan, begitu pula Tapakan Kerauhan merangkak dari pura bersangkutan menuju beji/tempat pesucian tanpa rasa sakit dan payah, Ketika Upacara Nglungang berlangsung suara genta dan gamelan bertalu-talu, asap dupa mengepul dengan bau wewangian menebar ke seluruh alam semesta ini, sehingga pertanda bagi masyarakat sekitar bahwa Ida Bhattara/Bhattari telah hadir menuju beji. Mendengar iring-iringan menuju beji, masyarakat sekitar akan berkumpul di jalan yang akan dilalui, sambil duduk dan mencakupkan tangan, tanda memberi hormat. Setelah tiba di beji iring-iringan disambut dengan upacara pemendakan yang dilaksanakan oleh para pemangku di jaba (luar) Pura Beji. Upacara Pemendakan berupa Api takep atau bara api, ayam hidup, kelapa masih utuh dan minuman berupa arak berem. Dengan spontan Tapakan Kerauhan memakan dan menikmati bara api yang sangat panas dan segempok dupa, begitu pula sarana-sarana lainya. Dengan tibanya iring-iringan di Pura Beji dan menikmati sarana upacara para Tapakan Kerauhan disadarkan oleh Pemangku, dengan diperciki Tirtha (air suci) dari kekuatan Ida Bhattara/Bhattari.

Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Ngwaliang/Mapamit Ida Bhattara/Bhattari dari Pura Beji. prosesi ini dilaksanakan apabila Ida Bhattara/Bhattari telah menyucikan bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan diakhiri persembahyangan bersama, maka Ida Bhattara/Bhattari akan kembali ke parhyangan masing-masing. Prosesi ini pastinya diawali dengan suara genta, gemalan dan jempana dipundut serta berbagai atribut kelengkapan beriringan membentuk barisan berjajar dua. Tentunya kembali secara spontan Tapakan Kerauhan mulai menunjukkan fenomena Kerauhan dengan perilaku menuju parhyangan masing-masing. Setelah tiba di parhyangan dilaksanakan Upacara Pemendakan dan Tapakan Kerauhan pun seperti biasa menunjukkan kekuatan suci Ida Bhattara yang telah merasuki dirinya dan disadarkan dengan diperciki tirtha (air suci) dari Pura tersebut. Sedangkan Ida Bhattara/Bhattari yang telah dihadirkan akan diistanakan selama beberapa hari atau diistilahkan Nyejer, agar umat dapat melaksanakan persembahyangan.

Waktu Kerauhan secara khusus, maksudnya secara spontan orang tiba-tiba Kerauhan, tapi konteksnya masih berpatokan pada rentetan ritual agama yang sedang berlangsung. Waktu khusus yang dimaksud, misalnya kurangnya sarana upacara atau ketika beliau ingin memberikan pewisik atau nasehat kepada para umat. Jika dalam pelaksanaan ritual agama ada sarana upacara yang kurang, maka seseorang tiba-tiba Kerauhan dan memberikan nasehat atau arahan kepada umat bahwa sarana upacara ini sangat penting dan diharapkan sarana tersebut dipenuhi segalanya. Disini umat secara langsung mendapat bimbingan dan arahan bagaimana melaksanakan bhakti agar dapat diterima langsung oleh alam, bukan asal membuat upacara saja. Orang pula Kerauhan sambil menyampaikan pewisik atau nasehatnya pada umat yang hadir dalam prosesi itu, agar jangan coba-coba mengadu ilmu dengan kekuatan alam semesta, sebab yang namanya manusia sering mengaku diri paling sakti dan kuat. Sehingga tak heran masyarakat yang merasa sakti mencoba mengadu kekuatan Ida Bhattara/Bhattari yang hadir dalam ritual keagamaan di sebuah pura.

2.3 Jenis-Jenis Kerauhan

Fenomena Kerauhan memang sangat menarik untuk disimak, karena mampu menjawab pertanyaan yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran. Sebab Manusia kadang tidak percaya tentang keberadaan Tuhan terlebih lagi di zaman Postmodern, teologi mulai tersisih karena pandangan dunia modern tidak memberikan kemungkinan suatu visi teologis yang sekaligus rasional dan bermakna. Selain itu kehausan religius masyarakat modern untuk mendapatkan keselamatan telah menciptakan pengganti teologi. Karena tidak dianggap tidak relevan dan tidak mungkin, teologi mengalami masanya yang paling sulit (Ray, 2005:17).

Menyimak pandangan seperti itu, masyarakat yang pola hidupnya semakin berubah di zaman modern memandang teologi hanya sebagai pelengkap hidup. Sebab zaman dulu teologi dipercaya membawa kesejahteraan masyarakat, tapi sekarang teologi sudah tenggelam oleh ilmu yang realitas membawa kesejahtaraan seperti, ilmu ekonomi dan teknologi. Tapi dalam ritual agama, keyakinan masyarakat justru meningkat begitu pula dengan teologi lokalnya. Karena dalam ritual agama memperlihatkan kekuatan alam semesta yang merasuk dalam tubuh manusia, sehingga orang itu Kerauhan.

Jenis-jenis Kerauhan dalam ritual upacara secara umum dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu merangkak (tubuh menyentuh tanah), ngurek, menari-nari dan diam. Pada fenomena Kerauhan dengan gerakan merangkak yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara/Bhattari, ketika gerakan Ngurek yang merasuki adalah pepatih Ida Bhattara/Bhattari, yang gerakanya menari-nari adalah widyadara/ widyadari sedangkan yang diam adalah Ida Bhattara/Bhattari sendiri.

Menurut teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan disimbolkan memiliki berbagai macam manifestasi yang dipercaya berdasarkan kekuatan maupun sakti seperti para dewa, Bhattara, sesuhunan dan sebutan lain yang menjadi teologi lokal. Dalam kitab suci Weda disebutkan binatang-binatang suci tersebut ada yang merupakan gambaran perwujudannya, ada juga berfungsi sebagai wahana para dewa. Di atas binatang-binatang atau burung-burung itu para dewa dan dewi duduk mengendarainya, seperti Wisnu di atas Garuda, Brahma di atas Angsa, Dewi Durga di atas seekor singa, Kartikeya atau Kumara menggunakan burung merak sebagai kendaraan, Ganapati kendaraanya seekor tikus. Indra atau Sasta di atas gajah, Sani berupa burung merak, Yama berupa seekor kerbau, Dewi Gangga seekor buaya, Yamuna seekor kura-kura, Vayu seekor kijang, Surya keretanya ditarik tujuh ekor kuda, Dewi Candi kendaraanya seekor harimau, Nerti kendaraanya seekor anjing, Waraha seekor ular, Rati burung kakatua, Gauri seekor biawak, Kubera kendaraannya manusia dan Hewanta seekor kuda (Titib, 2000:385).

Begitu pula Ida Bhattara/Bhattari yang berstana di sebuah Pura, hampir seluruhnya memiliki binatang suci yang disebut ancangan. Hal ini dapat kita perhatikan ketika Ida Bhattara/Bhattari melaksanakan Prosesi Ndunang, nglungan, ngwaliang ida bhattra, ada sedikit yang berbeda gerakan salah satu orang Kerauhan yaitu merangkak dari Pura menuju Pura Beji. Posisi merangkak seperti ini Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi adalah ancangan Ida Bhattara yang sifatnya lebih rendah, tapi berbeda dengan Butha, sebab ancangan lebih suci. Posisi merangkak ini selalu menyentuh ibu pertiwi (tanah) dan gerakanya seperti binatang. Fenomena Kerauhan merangkak biasanya berwujud Macan Gading, naga, ancangan kuda putih dan lain sebagainya. Fenomena tersebut bisa disimpulkan bahwa gerakan yang merangkak dan posisi seluruh tubuh menyentuh tanah dipercaya sebagai ancangan (binatang suci) yang menjaga areal suci sebuah pura.

Ketika upacara telah dipersiapkan, Tapakan Kerauhan merasakan melihat beberapa wujud binatang yang aneh, yang bentuknya tidak seperti binatang pada umumnya. Seperti ular bertanduk, kuda putih yang bersayap, macan gading, putih dan masih banyak lagi ancangan beliau. Kemudian ancangan terasa mendekat, setelah itu tidak bisa menahan kekuatan gaib masuk dalam tubuhnya, sehingga gerakan seperti binatang tidak bisa dikendalikan, tapi masih bisa melihat orang sekitar. Ketika Upacara Pemendakan, yang mempersiapkan penyamblehan, api takep dan arak berem. Pada waktu itu secara total tidak sadar, sehingga setelah diperciki air suci, di mulut sudah ada bulu-bulu ayam atau bekas bara api, tapi sama sekali tidak merasakan mual.

Selain binatang suci fenomena Kerauhan berikutnya adalah jenis ngurek. Ngurek berasal dari akar kata “urek” yang artinya melobangi atau tusuk, sehingga ngurek diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan tombak, keris dan alat lainya saat berada pada kondisi Kerauhan (trance). Namun sesunguhnya ngurek merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukan suatu keadaan terentu dari seseorang yang diyakini dirasuki roh tertentu, sehingga Kerauhan kemudian menusuk dirinya dengan keris, tombak dan alat lainya (Swadiana, 2007:2).

Menurut Swadiana ngurek dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: ngurek yang berpola, ngurek yang tak berpola dan ngurek untuk pertunjukan. ngurek yang berpola maksudnya berlangsung dengan teratur dan terkendali, karena merupakan satu kesatuan dengan pelaksanaan Upacara Piodalan. Umumnya ngurek dilakukan oleh pepatih (patapakan, iringan Ida Bhattara). ngurek yang tak berpola ialah ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada setiap ritual keagamaan, dalam hal ini hanya sebagai pembuktian. Sedangkan ngurek jenis ketiga yaitu sebagai pertunjukkan maksudnya ngurek tidak hanya kebutuhan acara ritual keagamaan saja melainkan bahan tontonan dan hiburan (Swadiana, 2007: 43-47).

Tapakan Kerauhan yang ngurek menggunakan senjata yang telah diupacarai dengan upacara pemasupatian. Menurut Jro Mangku Jenar beliau menjelaskan ada pantangan bagi Tapakan Kerauhan yang biasanya ngurek ialah tidak diperkenankan makan daging sapi, sebab jika itu dilanggar senjata itu akan menembus badanya. Begitu pula senjata yang telah diupacarai itu tidak diperkenankan membunuh apapun termasuk binatang, sebab sapi merupakan binatang suci yang sangat dihormati umat Hindu dan dipercaya sebagai wahana Siwa.

Dari beberapa pengalaman Kerauhan yang terbiasa ngurek. Jro Mangku I Wayan Dana mengatakan tidak merasa sakit ketika senjata itu menikam-nikam dadanya dan kesadaran tetap ingat serta melihat manusia sangat kecil, tubuh terasa besar dan sangat terasa ada kekuatan lain yang menggerakan, sehingga tak terkendalikan. Hal ini sesuai dengan pendapat LK. Suryani bahwa orang Kerauhan itu dimana seseorang diambil alih kemampuanya oleh spirit, roh ataupun atmanya sendiri atau energi lain di luar pemikirannya, pada saat seperti itu orang tetap sadar cuma kalau tidak dilatih memang dia tidak bisa mengendalikan keadaannya. Jadi akan mungkin sekali kalau ada orang Kerauhan dengan mental tetap berfungsi hanya saja orang itu dikuasai oleh energi lain. Ia tetap ingat namun tidak bisa menguasai keadaanya. (Swadiana, 2006:28)

Tapakan Kerauhan dalam perilaku ngurek, biasanya yang memasukinya adalah kekuatan para pepatih dari Ida Bhattara yang berstana di sebuah pura. Dalam Teologi Hindu Saguna Brahma, Tuhan atau manifestaNya diibaratkan sebagai seorang raja yang memiliki pepatih, penasehat, menteri dan lain sebagainya untuk mengatur kehidupan umat-Nya, seperti Dewa Indra dipercaya raja dari para Dewa penghuni Sorga (Titib, 2003:176).

Fenomena Kerauhan berikutnya adalah menari-nari. Tapakan Kerauhan ataupun orang secara spontan berteriak sambil menggerakan tanganya dan gerakanya sangat indah sambil menari-nari tapi mata tetap terpejam. Pada Upacara Nedunang Ida Bhattara/Bhattari pastilah diawali dengan Kerauhan berperilaku menari-nari, kemudian ngurek, terakhir merayap. Pada waktu Kerauhan dengan gerakan menari-nari dipercaya yang merasuki tubuh Tapakan Kerauhan adalah sebuah kekuatan berwujud cantik atau tampan yang memasuki tubuhnya, terkadang dirinya berada di kabut awan. Kerauhan ini sangat berbeda dengan ngurek, dimana keadaanya sama sekali tidak melihat manusia, tapi hanya awan putih yang indah.

Keadaan Kerauhan dengan gerakan menari-nari merupakan fenomena kemasukan kekuatan gaib yang dipercaya sebagai widyadara dan widyadari yang ada di kahyangan. Pada waktu Upacara berlangsung widyadara/widyadari dihadirkan untuk menyambut kehadiran para Ida Bhattara/Bhattari. Fenomena Kerauhan ini memang sulit dikendalikan, justru jika dilawan gerakanya akan jelek atau mengada-ada. Oleh karena itu Tapakan Kerauhan jenis ini biasanya melemaskan tubuhnya dan biarkan kekuatan gaib menguasainya, sehingga orang yang sama sekali tidak bisa menari, tiba-tiba sangat anggun dan cantik bak seorang bidadari yang sedang menari-nari di kahyangan.

Menurut Agni Purana XV, disebutkan nama Kinnara yaitu dewa-dewi sebagai penari dan pemusik di kahyangan. Kinnara ini digambarkan memegang wina sejenis gitar di tangannya. Jadi fenomena Kerauhan jenis menari-nari pada ritual keagamaan, disebabkan kemasukan kekuatan gaib berwujud para Widyadara/widyadari dari kahyangan.

Sedangkan fenomena Kerauhan jenis diam atau meneng, biasanya sangat dinanti-nanti oleh umat, terutamanya pada puncak upacara. Dimana Kerauhan jenis ini oleh Tapakan Kerauhan yang biasa dirasuki oleh kekuatan Beliau, Tapakan Kerauhan merasakan sungguh sangat berat dan tubuh ini terasa terinjak gajah, sehingga ketika beliau hadir walaupun singkat, tubuh ini sama sekali tidak dapat bergerak tapi merasakan kebahagiaan luar biasa.

Fenomena Kerauhan jenis ini ialah hadirnya Ida Bhattara/Bhattari sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa Wasa yang merupakan sumber kekuatan atau sakti dari sebuah Pura. Ketika beliau hadir dalam situasi apapun, seluruh aktifitas masyarakat akan berhenti dan suara gamelan, serta kul-kul bertalu-talu. Beliau hadir biasanya tidak lebih dari 5 menit dan orang yang memegang Tapakan Kerauhan akan merasakan tubuh yang sangat berat, sehingga beliau segera disadarkan dengan wangsupada Ida Bhattara.

2.4 Pengaruh Kerauhan

Kerauhan pada ritual agama di Bali merupakan sebuah fenomena yang sangat unik dan sakral, beberapa orang pasti ingin mengetahui bagaimana orang Kerauhan. Tapakan Kerauhan pada ritual agama diakibatkan karena pengaruh bunyi dan reaksi mental. Di samping itu orang yang akan Kerauhan terlebih dulu disucikan dengan upacara penyucian dan ada beberapa pantangan yang harus dilaksanakan, seperti dilarang makan daging sapi atau hewan berkaki empat lainya.

Pengaruh bunyi sangat mempengaruhi orang Kerauhan, bunyi yang biasanya disuarakan ada lima atau panca nada, yaitu : (1) suara gamelan, (2) kul-kul, (3) genta, (4) kidung dan (5) mantra. Kelima suara ini yang mengantarkan prosesi ritual agama dari awal sampai akhir upacara. Apabila salah satu dari suara tersebut tidak disuarakan biasanya Tapakan Kerauhan akan memberitahu umat untuk menyuarakan panca nada ini. Menurut Ev.Andreas Christanday musik memiliki tiga bagian penting yaitu: (1) beat, (2) ritme dan (3) harmony. Beat mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa dan harmony mempengaruhi roh. Contoh beat mempengaruhi tubuh adalah konser musik rock, dimana orang akan menjingkrak-jingkrak, kepala berputar-putar dan tubuh mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Bukti ritme mempengaruhi jiwa ialah jika hati sedang susah atau gundah cobalah mendengar suara yang indah, yang memiliki ritme yang teratur, tentu perasaan kita akan enteng. Di luar negeri pasien di rumah sakit disembuhkan dengan lagu-lagu indah, sedangkan harmony mempengaruhi roh adalah ketika kita mendengar musik pada film horor tentu ada rasa menyayat dalam hati. Dalam ritual keagamaan juga banyak digunakan harmoni yang mampu membawa roh manusia masuk ke dalam alam persembahan (Swadiana, 2000:48-49).

Musik gamelan Bali, terutama gong memiliki rentang frekuensi yang sangat rendah dan rentang nadanya memang cukup terbatas, tetapi irama, tempo atau beat musik gamelan tidak kalah variatifnya dibandingkan musik klasik meskipun lebih condong untuk monoton. Namun monotonic beat bisa berlaku seperti pembuka jalan ke arah mental state trance bagi pendengarnya. Inilah sebabnya mengapa Kerauhan di Bali banyak berhubungan dengan aktifitas ritual keagamaan dimana didalamnya banyak diperdengarkan musik gamelan (Swadiana, 2000: 50).

Menurut Gusti Jelantik yang merupakan Tapakan Kerauhan, beliau mengatakan pada waktu menjelang Nedunang Ida Bhattra/Bhattari, dirinya sudah merasa tidak tenang, walaupun sedang duduk bersila. Tapi ketika gamelan dimulai tubuhnya merasa bergetar dan terus bergetar sampai tidak bisa dikendalikan, terlebih lagi suara gamelan iramanya sangat cepat yaitu pada gamelan baleganjur. Tiba-tiba saja badan terasa gatal sehingga tubuh tidak terasa sakit walaupun senjata tajam menikam-nikam tubuhnya

Kekuatan Ida Bhattara/Bhattari memasuki tubuh Tapakan Kerauhan tersebut merasa gembira dan sangat senang melihat umatnya melaksanakan Upacara. Sehingga ancangan, pepatih, widyadara/widyadari menari-nari dan meluapkan kebahagiannya untuk menyambut jamuan atau pesta besar yang akan dilaksanakan. Jadi suara gamelan yang begitu meriah membuat hati para penghuni sorga merasakan kesenangan dan menunjukkan kekuatan Beliau untuk menambah keyakinan umat. Dengan Beliau merasa bahagia, maka apapun yang menjadi keinginan kita pastilah terpenuhi. Tapi perlu dipertegas suara gamelan hanya sebagai sarana dalam upacara yang mengiringi proses upacara bukan membuat orang Kerauhan. Ini bisa dibuktikan ketika suara gamelan berhenti orang yang telah Kerauhan tetap saja menari-nari, menikam-nikam dada dan gerakan lainnya.

Selain karena panca nada proses Kerauhan juga diakibatkan karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orang Kerauhan dalam keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia akan Kerauhan. Hal ini diketahui melalui wahyu, pewisik atau mimpi. Menurut Gusti Jelantik mengatakan sehari sebelum ngayah Kerauhan, biasanya sudah ada petunjuk lewat mimpi, bahwa saya harus ngayah Kerauhan pada Upacara di pura. Oleh karena itu harus mempersiapkan diri seperti keramas dan melukat dengan wangsupada. Di samping itu perlu juga menjaga fisik dan stamina, karena ngayah Kerauhan memerlukan tenaga yang banyak. Jadi dengan tahu bahwa dirinya akan ngayah Kerauhan, maka pemangku di Pura harus mempersiapkan juga upacara pembersihan. Tapakan Kerauhan di sebuah Pura orangnya hanya itu-itu saja, sebab mereka yang ngayah Kerauhan tentu dipilih berdasarkan upacara khusus dan biasanya turun temurun. Dengan hadirnya Ida Bhattara yang disungsungnya lewat mimpi atau bisikan lainnya merupakan sebuah pesan agar ketika ngayah Kerauhan benar-benar siap dan mantap.

Hal seperti ini disebut intuisi yang bersifat supraintelektual yang datang dari yang mutlak yaitu Tuhan. Intuisi tumbuh pada diri seseorang tanpa didahului keterangan yang logis dan tidak tergantung pada pengamatan. Ini adalah jenis intuisi yang dapat menjunjung orang-orang yang ternama dan orang-orang sederhana, akan tetapi memiliki batin yang sangat bersih. Intuisi ini memberi kesempatan untuk memperoleh tujuan terutama bila kita tidak mengetahui bagaimana kita dapat ke tujuan itu. Cara memperoleh pengetahuan demikian adalah melalui sesuatu yang mirip dengan kewaspadaan yang terdapat pada diri orang-orang yang memiliki keahlian gaib. Yang termasuk dalam golongan intuisi yang bersifat supraintelektual adalah wahyu, pewisik, kasjf dan ilmu (Suryadipura, 1993:204).

2.5 Material Kerauhan

Material Kerauhan dimaksudkan segala senjata atau alat yang dipergunakan Tapakan Kerauhan pada ritual keagamaan di pura, sebab ketika mengalami Kerauhan pastilah ada senjata yang dipakai menikam-nikam dadanya. Senjata yang dipergunakan tentunya tidak sembarangan perlu berbagai proses untuk dipergunakan. Pada waktu dulu setiap Pura yang tergolong Pura Sakti telah dipersiapkan berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan. Adapun senjata tersebut telah dilaksanakan upacara terlebih dulu yaitu Upacara Prayascita dan Pemasupatian, diharapkan dengan upacara ini antara senjata dengan Tapakan Kerauhan dapat bersatu. Dengan bersatunya senjata dengan Tapakan Kerauhan, maka segala sesuatu yang ditakuti, seperti terluka dapat dihilangkan.

Senjata yang telah dipersiapkan bukanlah untuk menakuti umat, melainkan memiliki simbol yaitu sebagai penghancur segala kekotoran atau yang sifatnya negatif. Dalam agama Hindu para dewa juga disimbolkan membawa senjata yang disebut Ayudhadevata. Ayudha berarti “yang dibawa waktu perang”. Senjata para dewa itu pada umumnya dibedakan dalam 3 jenis, yaitu:

1. Praharana : senjata yang dipakai memukul seperti tombak dan pedang.

2. Panimukta : Senjata yang ditembakan atau dilemparkan seperti cakram.

3. Yantramukta : senjata yang dilemparkan menggunakan tenaga atau alat tertentu seperti panah dengan bantuan busur.

Didalam kitab Purana disebutkan pasukan dewa juga dewi membunuh asura dan raksasa yang menghancurkan kahyangan para dewata dan umat manusia. Pada kenyataan penderitaan manusia disebabkan oleh raksasa dan roh-roh jahat sebagai alasan turunya para dewa dan dewi dalam berbagai wujud. Sang Hyang Siwa dalam berbagai lilamurti, Dewa Wisnu dengan berbagai Awatara dan inkarnasi dari para sakti, semuanya ini adalah untuk menghukum yang jahat dan memberikan pahala kebaikan bagi yang saleh (Titib, 2000: 378).

Kekuatan para raksasa tersebut dihancurkan dengan senjata para dewa yang masing-masing memiliki simbol untuk menunjukan identitas dewa tersebut, seperti sankha dan cakram untuk arca Wisnu, trisula dan damaru untuk arca Siwa, parasu, ankusa dan pasa untuk Ganesha, tombak sakti (Vela) untuk Subramanyu, Vajra untuk Indra, pasa untuk Varuna, Dhanurbana (busur dan panah) untuk Sri Rama dan Kadga (pedang) untuk Kalki Awatara.

Ayudhadevata mengandung makna simbolis kedewataan, seperti : Trisula merupakan kesatuan dari Triguna. Parasu melambangkan kekuatan gaib dari Tuhan Yang Maha Esa. Pasa (tali atau jerat) melambangkan dunia atau maya yang menjerat kehidupan spiritual seseorang. Sankha (terompet kerang) melambangkan waktu (proses) penciptaan. Cakra, agni atau khadga (pedang). Menggambarkan simbol proses kehancuran jagat raya (samhara). Iksudandha (tongkat berupa batang tebu) melambangkan kemanisan spiritual yang dirasakan oleh seseorang yang mempraktekkan hal tersebut dalam gejala duniawi. Padma melambangkan karunia dan kemahakuasaan. Ankusa melambangkan prinsip dasar melepaskan ikatan pengendalian diri (Titib, 2000:381).

Pada sebuah ritual keagamaan di pura, Tapakan Kerauhan biasanya memakai senjata berupa Trisula, pedang dan pisau kecil yang terus ditancap-tancapkan pada dadanya tanpa ada rasa sakit sedikit pun. Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi, senjata yang dipergunakan pada waktu Upacara merupakan simbol dari kemahakuasaan Tuhan yang menghancurkan kekuatan jahat yang ada pada diri seseorang, agar para Butha tidak mengganggu proses yadnya yang besar ini. Disamping itu Tuhan menunjukan kepada umatnya bahwa beliau kebal terhadap senjata, tidak terbakar api dan tidak basah oleh air. Berbagai senjata yang dipergunakan Tapakan Kerauhan merupakan senjata-senjata yang sangat disakralkan, tapi senjata tersebut tidak mutlak dipergunakan pada waktu upacara, suatu ketika Tapakan Kerauhan dapat mengambil senjata di sembarang tempat.

Demikian Fenomena Kerauhan yang terjadi pada ritual keagamaan di Bali, yang sampai kini tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat di Bali.

III. Penutup

Pada bagian akhir ini merupakan bagian simpulan yang berupa ringkasan pada uraian-uraian yang dikemukakan terlebih dahulu, sehingga dengan pembahasan tersebut dapat disimpulkan:

Fenomena Kerauhan dalam ritual agama merupakan sebuah tradisi dan budaya masyarakat di Bali. Fenomena ini mencakup beberapa aspek yang menjadi bagian dari sebuah fenomena Kerauhan ini, yaitu Pura tempat Kerauhan, waktu Kerauhan, jenis-jenis Kerauhan, proses Kerauhan dan material Kerauhan. Masyarakat Desa Pakraman Muncan, memiliki berbagai macam kelompok Pura yang jumlahnya ratusan. Beberapa Pura tersebut terdapat Tapakan Kerauhan yang sering Kerauhan pada waktu upacara. Tapakan Kerauhan akan menunjukan perilaku di luar pikiran manusia seperti makan bara api, menikam-nikam dadanya dengan senjata dan makan ayam yang masih Hidup. Fenomena ini terlihat ketika para pemangku sedang melaksanakan Upacara Nedunang Ida Bhattara/Bhattari, Nglungang Ida Bhattara dan Ngawaliang Ida Bhattara menuju Pura Beji. Pada Prosesi ini Tapakan Kerauhan yang banyak jumlahnya, menunjukkan tingkah laku yang berbeda-beda secara umum ada yang merangkak, ngurek, menari-nari dan diam. Menurut kepercayaan masyarakat di Bali, menganggap Kerauhan dengan gerakan merangkak dipercaya kerangsukan ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara sedangkan ngurek kerasungsukan para pepatih-pepatih Ida Bhattara, menari-nari kerangsukan widyadara/widyadari dan dalam posisi terdiam kerasngsukan kekuatan Ida Bhattara/bhatari yang menjadi sumber kekuatan. Pada waktu upacara dimulai para Tapakan Kerauhan akan menunjukkan fenomena Kerauhan apabila mendengar bunyi gamelan atau pula mendapat pewisisk atau bawos sebelumnya. Pada Fenomena ini Tapakan Kerauhan menggunakan senjata tajam yang telah dipasupati terlebih dahulu, kemudian senjata itu menikam-nikam dadanya, tapi tusukan senjata itu tidak terasa sakitnya. Senjata ini dipercaya masyarakat untuk menghilangkan kekuatan buruk yang dibawa para Butha pada waktu upacara.

* Hasil penelitian yang telah dimuat dalam Jurnal Penelitian

PEMABUK CINTA: ABU MAHFUDZ MA’RUF

Ya Allah …. Jika aku jatuh cinta,

Cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan

Cintanya pada-Mu

Agar bertambah kekuatanku untuk mencintai-Mu.

Ya Muhaimin, jika aku jatuh cinta,

Jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu

Ya Allah … jika aku jatuh cinta,

Ijinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu

Agar tidak jatuh aku dalam jurang cinta semu.

Ya Rabbana …. Jika aku jatuh cinta,

Jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling dari-Mu

Ya Rabbul Izzati… jika aku rindu,

Rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.

Ya Allah…jia aku rindu,

Jagalah rinduku padanya agar tidak lalaui aku merindui syurga-Mu.

Ya Allah…jika aku menikmati cinta kekasih-Mu,

Janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan

Indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhir-Mu.

Ya Allah…jika aku jatuh hati pada kekasih-mu,

Jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam

Perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu

Ya Allah…jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,

Jangan biarkan aku melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi

Hanya kepada-Mu

Ya Allah…Engkau mengetahui bahwa hati ini

Telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa

Dalam taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu,

Telah berpadu dalam membela syari’at – Mu.

Kukuhkanlah Ya Allah ikatannya, kekalkanlah cintanya.

Tunjukilah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini

Dengan Nur-Mu yang tiada pernah padam.

Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan

Keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal di jalan-Mu

Dia adalah salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”

Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.

Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.

Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.

Cinta Ilahiah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.

Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”

Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”

Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.

Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”

Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”

Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.

“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.

Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”

“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.

Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.

Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.

Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”

Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”

Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya

TRADISI SAPARAN: YAQOWIYU DI KLATEN JAWA TENGAH

 

Jatinom adalah nama suatu kecamatan di Klaten Jateng sekaligus kota pusat pemerintahannya. Jatinom terletak pada jalur utama yang menghubungkan antara Klaten dan Boyolali. Di Jatinom setiap bulan Sapar diadakan “SEBARAN APEM” atau Yaqowiyyu. Tradisi ini dilaksanakan pada hari Jumat di bulan Sapar yang berada di dekat masjid besar Jatinom. Orang Jatinom biasa menjadikan momen ini sebagai ajang bersilahturahmi ke sanak saudara, sehingga dapat dikatakan sebagai belaran orang Jatinom. Pada saat itu, setiap rumah membuat kue apem, yang nantinya disajikan kepada tamu yang datang. Tradisi ini konon bermula dari cerita tentang Ki Ageng Gribig yang ingin memberikan kue apem kepada muridnya, tetapi jumlahnya hanya sedikit sehingga agar adil maka kue apem tersebut dilemparkan ke muridnya untuk dibagi.

Dari Jatinom anda dapat melihat pemandangan Merapi dan Merbabu yang sejajar. Di kecamatan Jatinom terdapat sumber mata air bawah tanah yang dingin dan jernih yang dapat digunakan untuk mandi. Selain itu Anda dapat melihat deretan gua yang letaknya di dekat sungai. Gua di sana tidak ada stalaktitnya. Biasanya gua tersebut ramai dikunjungi pada bulan Sapar.

SEJARAH

Kyai Ageng Gribig ke Mekkah untuk menunaikan Ibadah Haji. Sewaktu berada di Mekkah mendapat apem 3 buah yang masih hangat, kemudian dibawa pulang untuk anak cucunya, ternyata sampai di Jatinom apem tersebut masih hangat. Dengan bersabda “APEM YAQOWIYU” artinya kata yaa qowiyyu itu ialah Tuhan Mohon Kekuatan. Berhubung apem buah tangan itu tidak mencukupi untuk anak cucunya, maka Nyai Ageng Gribig diminta membuatkan lagi agar dapat merata.

Kyai Ageng Gribig juga meminta kepada orang-orang Jatinom; di bulan Sapar, agar merelakan harta bendanya sekedar untuk zakat kepada tamu. Oleh karena orang-orang semua tahu bahwa Nyai Ageng Gribig sedekah apem, maka kini penduduk Jatinom ikut-ikutan sama membawa apem untuk selamatan. Sekarang ini orang-orang Jatinom membawa apem untuk diserahkan ke Panitia Penyebaran Apem, dan sesudah sholat Jumat disebarkan di lapangan.

Menurut kepercayaan warga, apem tersebut sebagai syarat untuk bermacam-macam maksud. Bagi petani dapat untuk sawahnya, agar tanamannya selamat dari hama. Ada yang percaya bahwa apem tersebut akan membawa rezeki, membawa jodoh, dan lain-lain. Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan tradisional yang lain.

Jumat siang, ribuan orang memadati lapangan di dekat Masjid Ageng Jatinom Kecamatan Jatinom Kabupaten Klaten untuk berebut kue apem yang disebar, yaa qowiyyu yang dirayakan pada setiap hari Jumat bakda sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar ini telah ada sejak jaman sejarah Kyai Ageng Gribig.

Maka, tak heran jika pada puncak acara peringatan yaaqowiyuu ini pengunjung melimpah yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Acara tradisi budaya tersebut digelar untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig, tokoh ulama penyebar agama Islam di Jawa, yang menetap dan meninggal di Jatinom.

Pada Kamis siang sebelum apem disebar pada hari jumat, apem disusun dalam dua gunungan yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon. Gunungan apem ini lalu akan diarak dari Kantor Kecamatan Jatinom menuju Masjid Ageng Jatinom yang sebelumnya telah mampir terlebih dahulu ke Masjid Alit Jatinom. Arak-arakan ini diikuti oleh pejabat-pejabat kecamatan, kabupaten, Pemerintah Daerah Kabupaten, Bupati (atau yang mewakili), Disbudparpora (Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga) dari Klaten. Arak-arakan jalan kaki ini juga dimeriahkan oleh marching band, reog, seni bela diri dan Mas Mbak Klaten yang terpilih.

Setelah kedua gunungan apem sampai di Masjid Ageng Jatinom maka gunungan apem tersebut dimalamkan di dalam Masjid untuk diberi doa-doa. Pada hari Jumat setelah sholat Jumat, apem tersebut disebar oleh Panitia bersama dengan ribuan apem sumbangan dari warga setempat.

Banyak orang berpendapat bahwa apem yang ada di gunungan dan telah dimalamkan di Masjid Ageng itulah apem yang paling “berkhasiat” atau manjur. Menurut banyak warga sebenarnya dari ribuan apem yang disebar apem yang telah dimalamkan di Masjid tersebut adalah apem yang benar-benar punya berkah. Tapi meskipun demikian tidak berarti ribuan apem lain yang disebar tidak membawa berkah, masyarakat percaya bahwa apem-apem yang disebar itu punya berkah. Menurut para sesepuh Jatinom, gunungan apem itu mulai diadakan sejak 1974, bersamaan dengan dipindahnya lokasi sebaran apem dari halaman Masjid Gedhe ke tempat sekarang. Sebelumnya, acara sebaran apem tidak menggunakan gunungan.

Penyusunan gunungan itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat Isa, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib. Di antara susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat sekitarnya hidup dari pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang di dalamnya berisi ratusan apem.

Ada perbedaan antara gunungan lanang dan wadon. Gunungan wadon lebih pendek dan berbentuk lebih bulat. Gunungan lanang lebih tinggi dan di bawahnya terdapat kepala macan putih dan ular. Kedua hewan itu adalah kelangenan Ki Ageng Gribig. Macan diibaratkan Kiai Kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig.

Kota Jatinom penuh sesak adanya beribu-ribu orang yang ada disitu meminta berkah kepada Kyai Ageng Gribig yang dimakamkan di Jatinom itu. Tetapi hendaknya kita selalu sadar bahwa: Mintalah sesuatu itu hanya kepada Allah semata.

Perayaan Yaaqowiyuu di Jatinom, Klaten, banyak dikunjungi puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka berkumpul di lapangan dekat Masjid Besar Jatinom, menunggu acara sebar kue apem yang dilakukan setelah selesai salat Jumat. Sekarang ini, sebanyak 5 ton kue apem yang diperebutkan para pengunjung.

Di lokasi ini terdapat juga peninggalan Kyai Ageng Gribig berupa: Gua Belan, Sendang Suran, Sendang Plampeyan dan Oro oro Tarwiyah. Disamping itu masih ada satu peninggalan yaitu Masjid Alit atau Masjid Tiban. Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sepulangnya Kyai Ageng Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah dari Oro-Oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro-Oro Tarwiyah.

Adapun Oro-Oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig yang berasal dari Padang Arofah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari tanggal 8 Dzulhijah ini dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah.

CATATAN

Apem yaaqowiyuu artinya DOA kepada Tuhan untuk mohon kekuatan itu bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Yaqowiyu diambil dari doa Kyai Ageng Gribig sebagai penutup pengajian yang berbunyi : Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin, yang artinya : Ya Tuhan berikanlah kekuatan kepada kita segenap kaum muslimin, doa tamu itu dihormati dengan hidangan kue roti. Sekarang pada malam Jumat dan menjelang sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar, Doa Kyai Ageng Gribig itu dibacakan dihadapan hadirin, para pengunjung kemudian menyebutkan Majelis Pengajian itu dengan sebutan nama : ONGKOWIYU yang dimaksudkan JONGKO WAHYU atau mencari wahyu. Kemudian oleh anak turunnya istilah ini dikembalikan pada aslinya yaitu YAQOWIYU.

#Sumber Suara Merdeka/Merawati Sunantri.

KISAH SUFI DZUN NUN AL MISHRI

Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri, yang dijuluki Dzun Nun, lahir di kota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M. Banyak guru-guru yang telah diikuti Dzun Nun dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya di negeri Arab dan Syria. Pada tahun 214 H/829 M, Dzun Nun ditangkap dengan tuduhan bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Kairo. Di kota ini ia meninggal tahun 246 H/861 M. Kuburan Dzun Nun sampai kini masih terpelihara dengan baik. Secara legendaris ia dianggap sebagai seorang ahli al-kimia yang mempunyai kekuatan-kekuatan ghaib dan telah mengetahui rahasia tulisan Hiroglif Mesir. Serangkaian syair dan risalat diduga sebagai karya-karyanya, tetapi kebanyakannya masih diragukan.

KISAH PERTAUBATANNYA

Mengenai pertaubatan Dzun Nun si orang Mesir dikisahkannya sebagai berikut:

Suatu hari aku mendengar bahwa di suatu tempat berdiam seorang pertapa. Maka pergilah aku ke pertapaan itu. Sesampainya di sana kudapati si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon dan berseru kepada dirinya sendiri:

“Wahai tubuh, bantulah aku dalam mentaati perintah Allah. Kalau tidak, akan kubiarkan engkau tergantung seperti ini sampai engkau mati kelaparan”.

Menyaksikan hal itu aku tak dapat menahan tangis sehingga tangisku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu. Maka bertanya lah ia:

“Siapakah itu yang telah menaruh belaskasihan kepada diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya ini?”

Aku menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku bertanya: “Mengapakah engkau berbuat seperti ini?”

“Tubuhku ini telah menghalang-halangiku untuk mentaati perintah Allah”, jawabnya. “Tubuhku ini ingin bercengkerama dengan manusia-manusia lain”.

Tadi aku mengira bahwa ia telah menumpahkan darah seorang Muslim atau melakukan dosa besar semacam itu.

Si pertapa melanjutkan: “Tidakkah engkau menyadari bahwa begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka segala sesuatu dapat terjadi?”

“Engkau benar-benar seorang pertapa yang kukuh!” kataku kepadanya.

“Maukah engkau menemui seorang pertapa yang lebih daripadaku?”, tanyanya kepadaku. “Ya”, jawabku.

“Pergilah ke gunung yang berada di sana itu. Di situlah engkau akan menemuinya”, si pertapa menjelaskan.

Maka pergilah aku ke gunung yang ditunjukkannya. Di sana kujumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam sebuah pertapaan. Sebuah kakinya telah terkutung putus dan dilemparkan ke luar, cacing-cacing sedang menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan salam, kemudian kutanyakan perihal dirinya.

Si pertapa berkisah kepadaku: “Suatu hari ketika aku sedang duduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan lewat di tempat ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari ruang pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan: ‘Setelah mengabdi dan mentaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk mengikuti syaitan dan mengejar seorang wanita lacur?’. Karena menyesal kupotonglah kaki yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk menemui orang berdosa seperti aku ini? “Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini”.

Puncak gunung itu terlampau tinggi untuk kudaki. Oleh karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.

Seseorang mengisahkan kepadaku: “Memang ada seorang lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di dalam pertapaan di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si pertapa kemudian bersumpah tidak akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya”.

Segala sesuatu yang telah kusaksikan dan segala kisah yang telah kudengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku bahwa barangsiapa memasrahkan diri kepada Allah, niscaya Allah akan memeliharanya dan tidak akan menyia-nyiakan penderitaannya. Di dalam perjalanan menuruni gunung itu aku melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas pohon. Tubuhnya kecil dan setelah kuamati ternyata matanya buta. Aku lantas berkata dalam hati: “Dari manakah makhluk lemah yang tak berdaya ini memperoleh makanan dan minumannya?”

Seketika itu juga si burung melompat turun. Dengan mematuk-matukkan paruhnya, dicungkilnya tanah dan tidak berapa lama kemudian terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari emas dan penuh biji gandum, sedang yang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah makan sepuasnya, burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan tadi hilang kembali tertimbun tanah. Dzun Nun sangat heran meyaksikan keanehan tersebut. Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa-raganya dan benar-benar bertaubat kepada Allah.

Setelah beberapa lama berjalan, Dzun Nun dan para sahabatnya sampai di sebuah padang pasir. EH sana mereka menemukan sebuah guci berisi kepingan-kepingan emas dan batu permata dan di atas tutupnya terdapat sebuah papan yang bertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya membagi-bagi emas dan permata-permata

tersebut di antara sesama mereka sedang Dzun Nun hanya meminta: “Berikanlah kepadaku papan yang bertuliskan nama Sahabatku itu!”.

Papan itu diterimanya, siang malam diciuminya. Berkat papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya sehingga pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berseru kepadanya: “Semua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan permata karena benda-benda itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih nama-Ku yang lebih berharga daripada emas dan permata. Oleh karena itu Aku bukakan untukmu pintu pengetahuan dan kebijaksanaan!”

Setelah itu Dzun Nun kembali ke kota. Kisahnya berlanjut pula sebagai berikut ini.

Suatu hari aku berjalan-jalan sampai ke tepian sebuah sungai, di situ kulihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci, setelah selesai, tanpa sengaja aku memandang ke loteng villa itu. Di atas balkon sedang berdiri seorang dara jelita. Karena ingin mempertegasnya aku pun bertanya: “Upik, siapakah engkau ini?”

Si dara menjawab: “Dzun Nun, dari kejauhan kukira engkau seorang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang terpelajar. Dan ketika sudah dekat kukira engkau seorang mistikus. Tetapi kini jelas bagiku bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula seorang mistikus.”

Aku bertanya: “Mengapakah engkau berkata demikian?”

Si dara menjawab: “Seandainya engkau gila, niscaya engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscaya engkau tidak memandang yang tak boleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang mistikis pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain dari Allah”.

Setelah berkata demikian dara itu pun hilang. Sadarlah aku bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia .telah diutus Allah untuk memberi peringatan kepada diriku. Api sesal membakar hatiku. Maka aku teruskan pengembaraanku ke arah pantai.

Sesampainya di pantai, aku melihat orang-orang sedang naik ke atas sebuah kapal. Akupun berbuat seperti mereka. Beberapa lama berlalu, seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan permata miliknya. Satu persatu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa permata itu ada di tanganku. Berulangkali mereka menyiksa dan memperlakukan diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu. Akhirnya aku tak tahan lagi lalu berseru:

“Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu!” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan mendongakkan kepala ke atas permukaan air dan masing-masing membawa sebuah permata di mulutnya.

Aku mengambilnya sebuah dan memberikannya kepada si saudagar. Menyaksikan keajaiban ini semua orang yang berada di atas kapal berlutut dan meminta maaf padanya. Karena peristiwa inilah aku dijuluki Dzun Nun (“Manusia Ikan”).

DZUN NUN DITANGKAP

Dzun Nun telah mencapai tingkat keluhuran yang tinggi tetapi tak seorang pun menyadari ini. Orang-orang di negeri Mesir bahkan sepakat mencap dirinya bid’ah dan melaporkan segala perbuatannya kepada khalifah al-Mutawakkil. Mutawakkil segera mengirim para perwiranya untuk membawa Dzun Nun ke kota Baghdad. Ketika memasuki istana khalifah, Dzun Nun berkata: “Baru saja kupelajari Islam yang sebenarnya dari seorang wanita tua dan sikap satria tulen dari seorang kuli pemikul air”.

“Bagaimana?”, tanya mereka kepadanya.

Dzun Nun menjawab: “Sesampainya di istana khalifah dan menyaksikan kemegahan istana dengan para pengurus dan pelayan yang hilir mudik di koridor-koridornya, aku berpikir alangkah baik-nya seandainya terjadi sedikit perubahan pada wajahku ini. Tiba-tiba seorang wanita tua dengan sebuah tongkat di tangannya menghampiriku. Sambil menatapku dengan tajam ia berkata kepadaku: ‘Jangan engkau takuti jasad-jasad yang akan engkau hadapi, karena mereka dan engkau adalah sama-sama hamba Allah Yang Maha Besar. Kecuali apabila dikehendaki Allah, mereka tidak dapat berbuat sesuatu pun terhadapmu”.

“Di tengah perjalanan tadi aku bertemu dengan seorang pemikul air. Aku diberinya seteguk air yang menyegarkan. Kepada seorang teman yang menyertaiku aku memberi isyarat agar ia memberikan sekeping uang dinar kepadanya. Tetapi si pemikul air menolak, tidak mau menerima uang itu dan berkata kepadaku: ‘Engkau adalah seorang yang terpenjara dan terbelenggu. Bukanlah suatu kekesatriaan yang sejati apabila menerima sesuatu dari seseorang yang terpenjara seperti engkau ini, seorang asing yang sedang terbelenggu’ “.

Setelah itu diperintahkan supaya Dzun Nun dijebloskan ke dalam penjara. Empat puluh hari empat puluh malam lamanya ia mendekam dalam kurungan itu. Setiap hari saudara perempuannya mengantarkan sekerat roti yang telah dibelinya dengan upah dari pekerjaan memintal benang. Ketika Dzun Nun dibebaskan, ditemu-kan empat puluh potong roti di kamar kurungannya dan tak satu pun di antara roti-roti itu yang telah disentuhnya. Ketika saudara perempuan Dzun Nun mendengar hal ini, ia menjadi sangat sedih.

“Engkau tahu bahwa roti-roti itu adalah halal dan tidak kuperoleh dengan jalan meminta-minta. Mengapa engkau tidak mau memakan roti-roti pemberianku itu?”

“Karena pinggannya tidak bersih”, jawab Dzun Nun. Yang dimaksudkannya dalah bahwa pinggan tersebut telah terpegang oleh penjaga penjara.

Ketika keluar dari penjara itu, Dzun Nun tergelincir dan dahinya terluka. Diriwayatkan bahwa lukanya itu banyak mengeluarkan darah tetapi tak setetes pun yang mengotori muka, rambut maupun pakaiannya. Setiap tetes darah yang terjatuh ke tanah, seketika itu juga lenyap dengan izin Allah.

Kemudian Dzun Nun dibawa menghadap khalifah. Ia diharuskan menjawab tuduhan-tuduhan yang memberatkan dirinya. Maka dijelaskannyalah doktrin-doktrinnya sedemikian rupa sehingga Mutawakkil menangis tersedu-sedu sedang menteri-menterinya terpesona mendengar kefasihan Dzun Nun. Khalifah menganugerahinya dengan kehormatan yang besar.

DZUN NUN DAN SEORANG MURID

Dzun Nun mempunyai seorang murid yang telah bertapa selama empat puluh kali, masing-masing selama empat puluh hari. Empat puluh kali ia telah berdiri di Padang Arafah dan selama empat puluh tahun ia telah mengendalikan hawa nafsunya. Suatu hari si murid datang menghadap Dzun Nun dan berkata:

“Semua itu telah kulakukan. Tetapi untuk semua jerih payahku Sang Sahabat tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun dan tidak pernah memandang diriku. Dia tidak memperdulikanku dan tak mau memperlihatkan keghaiban-keghaiban-Nya padaku. Semua itu kukatakan bukan untuk memuji diriku sendiri, aku semata-mata menyatakan hai yang sebenarnya. Aku telah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh diriku yang malang ini. Aku tidak mengeluh kepada Allah. Aku hanya menyatakan hai yang sebenarnya bahwa aku telah mengabdikan jiwa ragaku untuk berbakti kepada-Nya. Aku hanya menyampaikan kisah sedih dari nasibku yang malang ini, kisah ketidakberuntungan diriku ini. Semua itu kukemukakan bukan karena hatiku telah jemu untuk mematuhi Allah. Aku kuatir jika masa-masa mendatang aku mengalamt hai yang sama. Seumur hidup aku telah mengetuk dengan penuh harap, namun tak ada jawaban. Sangat berat bagiku untuk lebih lama menanggungkan. Karena engkau adalah tabib bagi orang-orang yang sedang berduka dan penasehat tertinggi bagi orang-orang suci, sembuhkanlah duka citaku ini”.

“Malam ini niakanlah dengan sepuas-puasnya”, kata Dzun Nun menasehati “Tinggalkanlah shalat ‘Isa dan tidurlah dengan nyenyak sepanjang malam. Dengan demikian jika Sang Sahabat selama ini tidak memperlihatkan diri-Nya dengan kebajikan, maka se tidak-tidaknya Dia akan memperlihatkan diri-Nya dengan penyesalan terhadapmu. Jika selama ini Dia tidak mau memandangmu dengan kasih sayang maka Dia akan memandangmu dengan kemurkaan”.

Si murid pun pergi dan pada malam itu ia makan dengan sepuas-puasnya. Tetapi untuk melalaikan shalat ‘Isa hatinya tidak mengizinkan. Ia tetap melakukan shalat dan setelah itu ia pun tidur. Malam itu di dalam mimpinya ia bertemu dengan Nabi dan berkata kepadanya:

“Sahabatmu mengucapkan salam kepadamu. Dia berkata: ‘Hanya seorang malang yang lemah serta bukan manusia sejatilah yang datang ke hadirat-Ku dan cepat merasa puas. Inti permasalahan adalah hidup lurus tanpa keluhan’. Allah Yang Maha Besar menyatakan: ‘Telah Kuberikan empat puluh tahun keinginan kepada hatimu dan Aku jamin bahwa engkau akan memperoleh segala sesuatu yang engkau harapkan dan memenuhi segala keinginanmu itu. Tetapi sampaikan pula salam-Ku kepada Dzun Nun, si manusia bajingan dan suka berpura-pura itu. Katakanlah kepadanya. wahai manusia pen-dusta yang suka berpura-pura, jika tidak Aku bukakan malumu kepasa seluruh penduduk kota, maka Aku bukanlah Tuhanmu. Awas, janganlah engkau sesatkan kekasih-kekasihku yang malang dan janganlah engkau jauhkan mereka dari hadirat-Ku”.

Si murid terjaga dari tidurnya lalu menangis. Kemudian ia pergi kepada Dzun Nun dan mengisahkan segala sesuatu yang disaksikan dan didengarnya dalam mimpi itu. Ketika Dzun Nun mendengar kata-kata ‘Tuhan mengirim salam dan menyatakan bahwa engkau adalah seorang pendusta yang suka berpura-pura’, ia pun berguling-guling kegirangan dan menangis penuh kebahagiaan.

KISAH-KISAH DZUN NUN

Dzun Nun mengisahkan: Ketika aku sedang berjalan-jalan di gunung, terlihat olehku sekumpulan orang-orang yang menderita sakit. Aku bertanya kepada mereka: “Apakah yang telah terjadi terhadap kalian?”

Mereka menjawab: “Di dalam pertapaan yang terletak di tempat ini berdiam seorang yang saleh. Setahun sekali ia keluar dari pertapaannya, meniup orang-orang ini lalu semuanya sembuh. Setelah itu ia pun kembali ke dalam pertapaannya dan setahun kemudian barulah ia keluar lagi”.

Dengan sabar aku menantikan si pertapa itu ke luar dari dalam pertapaannya. Ternyata yang kusaksikan adalah seorang lelaki ber-wajah pucat, berbadan kurus dan bermata cekung. Tubuhku gemetar karena kagum memandang dirinya. Dengan penuh kasih si pertapa memandangi orang banyak itu, kemudian menengadahkan pandangannya ke atas. Setelah itu semua orang-orang yang menderita sakit itu ditiupnya beberapa kali. Dan semuanya sembuh dari penyakitnya.

Ketika si pertapa hendak kembali ke dalam pertapaannya, aku segera meraih pakaiannya dan berseru:

“Demi kasih Allah engkau telah menyembuhkan penyakit-penyakit lahiriah, tetapi sembuhkanlah sekarang penyakit di dalam batinku ini”.

Sambil memandang diriku si pertapa berkata:

“Dzun Nun lepaskanlah tanganmu dariku. Sang Sahabat sedang mengawasi dari puncak kebesaran dan keagungan. Jika Dia lihat berapa engkau bergantung kepada seseorang selain daripada-Nya, pasti Dia akan meninggalkan dirimu bersama orang itu maka celakalah engkau di tangan orang itu”.

Setelah berkata demikian ia pun kembali ke dalam pertapaannya.

ooo

Suatu hari sahabat-sahabatnya mendapati Dzun Nun sedang menangis.

“Mengapa engkau menangis?”, tanya mereka.

“Kemarin malam ketika bersujud di dalam shalat, mataku tertutup dan aku pun tertidur. Terlihat olehku Allah dan Dia berkata kepadaku: ‘Wahai Abul Faiz, Aku telah menciptakan semua makhluk terbagi dalam sepuluh kelompok. Kepada mereka aku berikan harta kekayaan dunia. Semuanya berpaling kepada kekayaan dunia kecuali satu kelompok. Kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka Aku berikan surga. Semuanya berpaling kepada surga kecuali satu kelompok. Kemudian kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku tonjukkan neraka. Semua lari menghindar kecuali satu kelompok yaitu orang-orang yang tidak tergoda oleh harta kekayaan dunia, tidak mendambakan surga dan tak takut pada neraka. Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki?’ Semuanya menengadahkan kepalanya sambil berseru: “Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui apa yang kami kehendaki!”.

ooo

Pada suatu hari seorang anak lelaki menghampiri Dzun Nun lalu berkata: “Aku mempunyai uang seribu dinar. Aku ingin menyumbangkan uang ini untuk kebaktianmu kepada Allah. Aku ingin agar uangku ini dapat digunakan oleh murid-muridmu dan para guru sufi”.

“Apakah engkau sudah cukup umur?”, tanya Dzun Nun. “Belum”, jawab anak itu.

“Jika demikian engkau belum berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. Bersabarlah hingga engkau cukup dewasa”, Dzun Nun menjelaskan.

Setelah dewasa, anak itu kembali menemui Dzun Nun. Dengan pertolongan Dzun Nun ia bertaubat kepada Allah dan semua uang dinar emas itu diberikannya untuk para guru sufi, sahabat-sahabat Dzun Nun.

Suatu ketika para guru sufi itu mengalami kesulitan sedang mereka tak memiliki apa-apa lagi karena uang telah habis dipergunakan.

Anak lelaki yang telah menyumbangkan uangnya itu berkata: “Sayang sekali, aku tak mempunyai uang seratus ribu dinar lagi untuk membantu manusia-manusia berbudi ini”. Kata-kata ini terdengar oleh Dzun Nun, maka sadarlah ia bahwa anak tersebut belum menyelami kebenaran sejati dari kehidupan rrristik karena kekayaan dunia masih penting dalam pandangannya. Anak itu dipanggil Dzun Nun dan berkata kepadanya:

“Pergilah ke tabib Anu, katakan padanya bahwa aku menyuruh dia untuk menyerahkan obat seharga tiga ribu dirham kepadamu”.

Si pemuda segera pergi ke tabib itu dan tak lama kemudian ia telah kembali lagi.

“Masukkanlah obat-obat itu ke dalam lumpang dan tumbuklah sampai lumat”, Dzun Nun menyuruh si pemuda.. “Kemudian tuangkanlah sedikit minyak sehingga obat-obat itu berbentuk pasta. Kemudian kepal-kepallah ramuan itu menjadi tiga buah butiran, dan dengan sebuah jarum lobangilah ketiga-tiganya. Setelah itu bawalah ketiga butirnya kepadaku”.

Si pemuda melaksanakan seperti yang diperintahkan kepadanya. Setelah selesai, ketiga butiran itu dibawanya kepada Dzun Nun. Butir-butir tersebut diusap-usap oleh Dzun Nun kemudian ditiupnya, tiba-tiba butir-butir itu berubah menjadi tiga buah batu mirah delima dari jenis yang belum pernah disaksikan manusia. Kemudian Dzun Nun berkata kepada si pemuda:

“Bawalah permata-permata ini ke pasar dan tanyakanlah harga-nya, tetapi jangan engkau jual”.

Si pemuda membawa batu-batu permata itu ke pasar. Ternyata setiap butirnya berharga seribu dinar. Si pemuda kembali untuk mengabarkan hai ini kepada Dzun Nun. Dzun Nun berkata: “Sekarang masukkanlah permata-permata itu ke dalam lesung, tumbuklah sampai halus dan setelah itu lemparkanlah ke dalam air”.

Si pemuda melakukan seperti yang disuruhkan, melemparkan tumbukan permata itu ke dalam air. Setelah itu Dzun Nun berkata kepadanya: “Anakku, para guru sufi itu bukan lapar karena kekurangan. Semua ini adalah kemauan mereka sendiri”.

Si pemuda bertaubat lalu jiwanya terjaga. Dunia ini tak berharga lagi dalam pandangannya.

ooo

Dzun Nun berkisah sebagai berikut:

Selama tiga puluh tahun aku mengajak manusia untuk bertaubat, tetapi hanya seorang yang telah menghampiri Allah dengan segala kepatuhan. Beginilah peristiwanya:

Pada suatu hari sewaktu aku berada di ‘pintu sebuah masjid, seorang pangeran beserta para pehgiringnya lewat di depanku. Kuucapkan kata-kata: “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang bergulat me la wan si kuat”.

Si pangeran bertanya kepadaku: “Apakah makna kata-katamu itu?”

“Manusia adalah makhluk yang lemah, tetapi ia bergulat melawan Allah Yang Maha Kuat”, jawabku.

Wajah si pangeran remaja itu berubah pucat. Ia bangkit lalu meninggalkan tempat itu. Keesokan harinya ia kembali menemuiku dan bertanya: “Manakah jalan menuju Allah?”

“Ada jalan yang kecil dan ada jalan yang besar, yang manakah yang engkau sukai?. Jika engkau menghendaki jalan yang kecil, tinggalkanlah dunia dan hawa nafsu, setelah itu jangan berbuat dosa lagi. Jika engkau menghendaki jalan yang besar, tinggalkanlah segala sesuatu kecuali Allah lalu kosongkanlah hatimu”.

“Demi Allah akan kupilih jalan yang besar”, jawab si pangeran.

Esoknya ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba dan mengambil jalan mistik. Di kemudian hari ia menjadi seorang manusia suci.

ooo

Kisah berikut ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far yang bermata satu.

Aku bersama Dzun Nun dengan sekelompok murid-muridnya berada di suatu tempat. Mereka sedang membicarakan bahwa sesungguhnya manusia dapat memerintah benda-benda mati,

“Inilah sebuah contoh”, kata Dzun Nun, “bahwa benda-benda mati mematuhi perintah-perintah manusia-manusia suci. Jika kukatakan kepada sofa itu ‘menarilah mengelilingi rumah ini maka ia pun menari”.

“Belum lagi Dzun Nun selesai dengan kata-katanya, sofa itu mulai bergerak kemudian mengelilingi rumah lalu membalik ke tempatnya semula. Seorang pemuda yang menyaksikan peristiwa ini tidak dapat menahan ledakan tangisnya dan tak berapa lama kemudian menemui ajalnya. Mereka memandikan mayat si pemuda di atas sofa itu kemudian menguburkannya.

ooo

Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Dzun Nun dan berkata:

“Aku mempunyai hutang tetapi aku tidak mempunyai uang” untuk melunasinya”,

Dzun Nun memurigut sebuah batu. Batu itu berubah menjadi zamrud. Dzun Nun menyerahkannya kepada lelaki itu. Ia membawa-nya ke pasar dan menjualnya dengan harga empat ratus dirham kemudian ia melunasi hutangnya.

ooo

Ada seorang pemuda yang seringkali mencemoohkan kaum sufi. Suatu hari Dzun Nun melepaskan cincin di jarinya kemudian memberikan cincin itu kepada si pemuda sambil berkata:

“Bawalah cincin ini ke pasar dan gadaikanlah dengan harga satu dinar”.

Si pemuda membawa cincin itu ke pasar tetapi tak seorang pun mau menerimanya dengan harga di atas satu dirham. Si pemuda kembali dan menyampaikan hal itu kepada Dzun Nun.

“Sekarang bawalah cincin ini kepada pedagang permata dan t any akan harganya”, Dzun Nun berkata kepada si pemuda.

Ternyata pedagang-pedagang permata menaksir harga cincin itu seribu dinar. Ketika si pemuda kembali, Dzun Nun berkata kepadanya:

“Engkau hanya mengetahui kaum sufi seperti pemilik-pemilik warung di pasar tadi mengetahui harga cincin ini”.

Si pemuda bertaubat dan ia tak mau lagi mencemooh para sufi.

ooo

Telah sepuluh tahun lamanya Dzun Nun ingin memakan Sekbaj, tetapi keinginan itu tak pernah dilampiaskannya. Kebetulan esok hari adalah hari raya dan batinnya berkata: “Bagaimana jika esok engkau memberi kami sesuap sekbaj sekedar untuk menyambut hari raya?”

“Wahai hatiku, jika demikian yang engkau kehendaki, maka biarkanlah aku membaca seluruh ayat al-Qur’an di dalam shalat sunnat dua raka’at malam nanti”.

Hatinya mengizinkan. Keesokan harinya Dzun Nun mempersiapkan sekbaj di depannya. Ia telah membasuh tangan tetapi sekbaj itu tidak disentuhnya; ia segera melakukan shalat.

“Apakah yang telah terjadi?”, seseorang yang menyaksikan hal itu bertanya kepada Dzun Nun.

“Barusan, hatiku berkata kepadaku”, jawab Dzun Nun. ‘Akhirnya setelah sepuluh tahun lamanya barulah tercapai keinginanku!’, tetapi segera kujawab: ‘Demi Allah, keinginanmu tidak akan tercapai’ “.

Yang meriwayatkan kisah ini me ny at akan bahwa begitu Dzun Nun mengucapkan kata-kata itu, masuklah seorang yang membawakan semangkuk sekbaj ke hadapannya dan berkata:

“Guru, aku tidak datang kemari atas kehendakku sendiri, tetapi sebagai utusan. Baiklah kujelaskan duduk persoalannya kepadamu. Aku mencari nafkah sebagai seorang kuli padahal aku mempunyai beberapa orang anak, Telah beberapa lamanya mereka meminta sekbaj dan untuk itu aku telah menabung uang. Kemarin malam kubuatkan sekbaj ini untuk menyambut hari raya. Tadi aku bermimpi melihat wajah Rasulullah yang cerah menerangi bumi. Rasulullah berkata kepadaku: ‘Jika engkau ingin me lihat ku di hari berbangkit nanti, bawalah sekbaj itu kepada Dzun Nun dan katakan kepadanya bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib telah memohon ampun untuk dirinya agar ia untuk sementara dapat berdamai dengan hatinya dan memakan sekbaj ini dengan sekedarnya”.

“Aku taati”, sahut Dzun Nun sambil menangis.

ooo

Ketika Dzun Nun terbaring menunggu ajalnya, sahabat-sahabatnya bertanya:

“Apakah yang engkau inginkan pada saat ini?”

Dzun Nun menjawab: “Keinginanku adalah walau untuk sesaat saja, aku dapat mengenal-Nya”. Kemudian Dzun bersyair:

Takut telah meletihkan diriku,

Hasyrat telah membakar diriku,

Cinta telah memperdayakanku,

Tetapi Allah telah menghidupkan aku kembali.

Pada suatu hari “ketika Dzun Nun tidak sadarkan diri. Pada malam kematiannya, tujun puluh orang telah bertemu dengan Nabi Muhammad di dalam mimpi mereka. Semuanya mengisahkari bahwa di dalam mimpi itu Nabi berkata: “Sahabat Allah sudah tiba. Aku datang untuk menyambut kedatangannya”.

Ketika Dzun Nun meninggal dunia, orang-orang menyaksikan tulisan berwarna hijau di dahinya: “Inilah sahabat Allah. Ia mati di dalam kasih Allah. Inilah manusia yang telah dijagal Allah dengan pedang-Nya”.

Ketika orang-orang mengusung mayatnya ke pemakaman, matahari sedang bersinar dengan sangat teriknya. Burung-burung turun dari angkasa dan dengan sayap-sayap mereka meneduhi peti mati Dzun Nun sejak dari rumah sampai ke pemakaman. Ketika mayatnya diusung itu seorang muadzin menyerukan adzan. Sewaktu si muadzin mengucapkan kata-kata syahadah, dari balik kain kafan terlihat jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas.

“Ia masih hidup!”, orang-orang berseru kaget.

Mereka menurunkan usungan itu. Memang jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas, tetapi ia telah mati. Betapa pun mereka mencoba namun mereka tak dapat membenarkan jarinya yang mengacung itu. Ketika orang-orang Mesir mendengar hal ini, mereka semua merasa malu dan bertaubat dari kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap Dzun Nun. Sebagai tanda penyesalan, di atas kuburan Dzun Nun telah mereka lakukan berbagai hal yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata.

@sumber: kitab tadzkiratul awlia

KISAH ASHABUL UHDUD: “Bismillahi Rabbil Ghulam”

DAHULU kala, ada seorang raja dari kalangan orang-orang sebelum kalian yang memiliki seorang ahli sihir, begitu Rasulullah memulai kisahnya di depan para sahabat sebagaimana dikisahkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (IV/16-17).

Ketika ahli sihir itu–lanjut Nabi–sudah lanjut usia, dia berkata kepada sang raja, Sesungguhnya aku sudah uzur, maka kirimkan seorang pemuda kepadaku untuk aku ajarkan kepadanya ilmu sihir. Maka sang raja pun mengirimkan seorang pemuda kepadanya untuk diajari ilmu sihir.

Ketika di tengah jalan yang dilaluinya untuk pergi berguru pada tukang sihir, terdapat seorang rahib ahli ibadah. Pemuda itu singgah, duduk di dekatnya dan mendengarkan ucapannya hingga membuatnya kagum dan heran.

Ketika mendatangi ahli sihir, dia selalu melewati si rahib itu dan singgah di tempatnya untuk berguru. Suatu ketika dia mendatangi ahli sihir dan melaporkan kebiasaannya itu, dan ahli sihir itu marah bahkan memukulnya. Pemuda itu melaporkan perkaranya pada sang rahib.

Jika engkau takut pada ahli sihir maka katakan, Keluargaku menahanku. Dan jika engkau takut kepada keluargamu, maka katakan, ahli sihir itu menahanku! Kata sang rahib.

Dalam keadaan demikian, datanglah seekor binatang yang sangat besar menahan orang-orang, maka pemuda itu berkata, Sekarang aku akan mengetahui yang lebih baik, ahli sihir atau rahib? Kemudian dia mengambil sebuah batu seraya berkata, “Ya Allah, jika ajaran rahib itu Engkau sukai daripada ajaran ahli sihir, maka bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang dapat melanjutkan perjalanan mereka.”

Lalu di lemparkan batu itu hingga mengenai dan membunuh binatang raksasa itu, dan orang-orang pun dapat melanjutkan perjalanan.

Selanjutnya, pemuda itu mendatangi si rahib dan memberitahu pristiwa tersebut. Sang rahib berkata, “Wahai anakku, sekarang ini kamu lebih baik daripada diriku. Sebab, urusanmu telah mencapai apa yang kusaksikan. Sesungguhnya kamu kelak akan diuji, jika engkau diuji janganlah sekali-kali menyebut namaku.”

KAROMAH

Pemuda itu, memiliki banyak kelebihan dan keutamaan (karomah) dengan menyembuhkan segala jenis penyakit, tak terkecuali penyakit buta dan kusta. Hingga suatu saat orang kepercayaan sang raja yang buta mendengar berita tentang dirinya.

Ia lalu mendatangi pemuda itu sambil membawa hadiah yang banyak, dan berkata, “Semua yang ada di sini akan menjadi milikmu jika berhasil menyembuhkan diriku. Pemuda itu pun menjawab, Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seseorang. Yang menyembuhkan adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Jika kamu beriman kepada Allah yang Maha Tinggi, maka aku akan berdoa kepada-Nya, lalu Dia akan menyembuhkanmu. Maka dia pun beriman kepada Allah Yang Maha Tinggi, dan Allah menyembuhkannya.”

Selanjutnya, orang kepercayaan raja itu mendatangi sang raja dan duduk seperti biasanya. Raja bertanya, “Siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?” “Tuhanku, “ jawabnya. “Apakah kamu memiliki tuhan selain diriku? Tanya raja. “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah, “ jawabnya.

Raja itu langsung menghukum orang kepercayaannya, dan terus menyiksanya hingga ia menunjuk pemuda yang mengobatinya. Dan raja meminta agar pemuda itu dihadirkan. Raja berkata, “Wahai anakku, sihirmu luar biasa hebatnya hingga dapat menyembuhkan orang buta dan kusta. Kamu juga telah melakukan ini dan itu.”

Maka, pemuda itu berkata, “Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, sebenarnya yang menyembuhkan mereka adalah Allah.”

Rasulullah melanjutkan sabdanya, maka pemuda itu pun dihukum dan terus disiksa hingga pemuda itu menunjuk si rahib. Lalu raja meminta agar rahib saleh itu dihadirkan, ketika hadir, sang raja bertitah, “Kembalilah ke dalam agamamu semula.” Namun ia menolak.

Raja naik pitam dan meminta gergaji lalu diletakkan di atas kepala si rahib dan membelahnya hingga kedua belah tubuhnya terjatuh. Dipanggil pula orang kepercayaannya dan dikatakan padanya, Kembalilah kamu ke dalam agamamu semula. Tapi dia menolak, dan si raja meletakkan gergaji di atas kepalanya, kemudian membelah tubuhnya hingga terjatuh.

DIMINTALAH supaya mendatangkan pemuda itu, dan raja bertitah padanya, “Kembalilah kepada agamamu.” Namun dia tetap menolak. Maka dia menyerahkannya kepada para pengawalnya. Lalu berkata, “Pergi dan bawalah pemuda ini ke gunung ini dan itu, dan bawalah ia naik ke atas gunung. Jika kalian telah sampai di puncaknya dan dia kembali kepada agamanya, maka tidaklah masalah. Namun jika tidak, maka lemparlah dia.

Kemudian para pengawal itu membawa sang pemuda naik ke gunung.” Dan, pemuda itu berdo’a, “Ya Allah, lindungilah diriku dari kejahatan mereka sesuai dengan kehendak-Mu.”. Maka gunung itu goncang. Kemudian pemuda itu dengan berjalan kaki datang menemui sang raja.

Raja lalim itu bertanya padanya, “Apa yang dilakukan oleh pengawalku yang membawamu?”

“Allah yang Maha Tinggi telah menghindarkan diriku dari kejahatan mereka.” Maka, pemuda itu diserahkan kepada pasukan lain seraya bertitah, “Pergilah kalian dan bawa pemuda ini dengan sebuah perahu ke tengah-tengah laut. Jika ia mau kembali ke agamanya semula, maka dia akan selamat, jika tidak, maka lemparkanlah ke tengah lautan.”

Lalu mereka berangkat dengan membawa pemuda tersebut. Selanjutnya, pemuda itu berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka sesuai dengan kehendak-Mu.” Maka kapal itu pun terbalik dan para pasukan raja tertelam lautan ombak. Lalu, pemuda itu kembali sambil berjalan kaki menemui sang raja.

Raja zalim bertanya padanya, “Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang bersamamu tadi?” Pemuda menjawab! “Allah yang Maha Tinggi telah menyelamatkanku dari kejahatan mereka.” Lebih lanjut, pemuda itu berkata pada raja, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat membunuhku hingga kamu mengerjakan apa yang aku perintahkan padamu.”

“Apa yang harus kukerjakan?, “ tanya sang raja. “Kamu harus mengumpulkan orang-orang di tanah lapang, lalu kamu menyalibku di sebuah batang pohon. Ambillah anak panah dari tempat anak panahku, letakkan pada busurnya, kemudian ucapkan, Bismillah, rabbil-ghulam. Dengan menyebut nama Allah, Tuhan pemuda ini. Lalu lepaskanlah anak panah itu ke arahku. Sesungguhnya jika kamu telah melakukan hal itu, maka kamu akan dapat membunuhku, “ kata sang pemuda.

Raja lalu mengumpulkan segenap warga negara di satu tanah lapang. Ia menyalib pemuda itu di atas sebatang pohon, lalu mengambil satu anak panah dari milik pemuda itu. Selanjutnya, dia meletakkan anak panah pada busurnya, lalu mengucapkan, bismillahi rabbil-ghulam, Dengan menyebut nama Allah, Tuhan pemuda ini. Ia pun melepaskan anak panah itu, pas mengenai bagian pelipis, pemuda itu meletakkan tangannya di pelipisnya, dan ia pun meninggal dunia. Pada saat itu orang ramai menyaksikan, berkata, Kami beriman kepada Tuhan pemuda ini. Amantu birabbi-ghulam.

Datanglah seseorang menghadap raja dan melapor, “Tahukah kamu, apa yang engkau khawatirkan? Demi Allah, kekhawatiranmu telah menjadi kenyataan. Orang-orang telah beriman.”

Raja pun memerintahkan untuk membuat parit besar di setiap persimpangan jalan, sambil menyalakan api.

Raja bertitah, “Barangsiapa tidak kembali kepada agama semula, maka lemparkanlah dia ke dalam parit berapi itu! Atau akan dikatakan kepadanya, Ceburkanlah dirimu!”

Maka orang-orang pun melakukan hal tersebut, hingga datanglah seorang wanita menggendong bayinya sambil menyusu. Wanita itu berhenti dan menghindar agar tidak terperosok ke dalamnya. Maka bayi itu pun berbicara, “Wahai ibuku, bersabarlah, sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran.”

***

Kisah heroik di atas, tidak hanya diabadikan oleh Nabi dan para sejarawan muktabar sekaliber Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam “Al-Bidayah wan-Nihayah” tapi juga dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an menyebutnya sebagai “Ashabul-Uhdud” berlandaskan firman Allah, binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi dinyalakan dengan kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman, dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha perkasa lagi Maha terpuji(QS. Al-Buruj: 4-8).

@@@

Penulis: Ilham Kadir, Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor, pernah dimuat di Hidayatullah.

K.H. MUHAMMAD SYARWANI ABDAN BANGIL AL BANJARI : Sang Ahli Hikmah yang Rendah Hati

 

K.H Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari atau biasa dikenal Tuan Guru Bangil (lahir di Martapura, Kalimantan Selatan tahun 1915 – meninggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, 11 September 1989 pada umur 74 tahun) adalah seorang ulama yang dikenal di Kalimantan Selatan hingga Jawa Timur khususnya Bangil tempatnya mendirikan Pondok Pesantren Datu Kalampayan. Ia merupakan keturunan ke-6 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

@ sumber:  alkisah no 03/9-22 Feb 2009

Setiap ahad ketiga bulan shafar terlihat pemandangan istimewa dikota Bangil,saat itu ribuan umat islam dari pulau Kalimantan,khususnya suku Banjar berbondong bondong menyeberangi lautan luas dan membanjiri kota kecil di Jawa Timur. Bukan hanya masyarakat biasa,bahkan para pembesarnya pun baik kalangan ulama maupun kalangan pejabat ada diantara mereka,tidak tanggung tanggung ketika hari itu tiba,dari mulai para Bupati di sejumlah daerah di Kalsel hingga orang nomor satu dipemda provinsi tersebut yaitu Gubernur Kalimantan selatan setiap tahunnya selalu menyempatkan diri turut mengunjungi Bangil kota Bordir

Tidak ketinggalan kaum muslimin pecinta ulama dan aulia diseluruh Indonesia bahkan banyak yang datang dari luar negeri turut larut pada hari itu meskipun mereka bukan dari etnis Banjar.barangkali fenomena kecintaan yang begitu besar hingga membuat ribuan orang dari satu pulau menyeberang lautan untuk ikut menghadiri haul tokoh putra daerahnya dipulau lain,hanya ada terhadap sosok Tuan Guru Bangil julukan bagi alm K.H M.Syarwani Abdan bin Haji Muhammad Abdan bin Haji Muhammad Yusuf bin Haji Muhammad Shalih Siam bin Haji Ahmad bin Haji Muhammad Thahir bin Haji Syamsuddin bin saidah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari,

Beliau dilahirkan pada tahun 1334 H/1915 M dikampung Melayu Ilir Martapura. Sejak kecil ia memiliki semangat yang tinggi untuk belajar ilmu agama dan tekun belajar sehingga disayangi oleh para gurunya.  Ketika masih berdomisili di Martapura guru beliau adalah pamannya sendiri yaitu  KH.M.Kasyful Anwar ,Qadhi haji Muhammad Thaha, KH Ismail Khatib Dalam Pagar dan banyak lagi yang lainnya.

Pada usia masih muda beliau meninggalkan kampung halamannya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di Bangil dengan maksud memperdalam ilmu agama kepada beberapa ulama dikota Bangil dan Pasuruan.  Di antara guru beliau adalah KH.Muhdhar (gondang Bangil), KH.Abu Hasan (Wetan Alun Bangil), KH.Bajuri (Bangil) dan KH.Ahmad Jufri (Pasuruan) orang tua beliau sendiri pada saat itu memang sudah lama berdiam di kota Bangil untuk berniaga.

Saat beliau berumur 16 tahun pamannya Syekh Muhammad Kasyful Anwar seorang alimul Allamah (seorang yang sangat luas dan mendalam ilmu agamanya)  hingga Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin H.Abdul Ghani Al Banjari  (Abah Guru Sekumpul)  pernah menyebutnya sebagai seorang Mujaddid (pembaharu). Oleh pamannya, beliau di bawa pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama saudara sepupunya yaitu Syekh Muhammad Sya’rani arif yang dikemudian hari juga dikenal sebagai seorang ulama besar di Martapura.

Ia dan sepupunya tersebut melanjutkan pelajaran ilmu agamanya dibawah bimbingan dan pengawasan langsung pamannya ini. Selama berada di Tanah Suci kedua pemuda ini dikenal sangat tekun mengisi waktu dengan menuntut ilmu ilmu agama. Keduanya benar benar mmanfaatkan waktunya dengan mendatangi majelis majelis ilmu para ulama besar Mekkah pada waktu itu,diantara guru guru beliau Sayyid Amin Kutby ,Sayyid Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad al-araby,Sayyid Hasan Al-Masysyath,Syeikh Abdullah Al-Bukhari,Syeikh Saifullah Daghestani, Syeikh syafi’i asal Kedah,Syeikh Sulaiman asal Ambon,dan Syekh Ahyad asal Bogor.

Rupanya ketekunan belajar dua keponakan Syeikh Muhammad Kasyful Anwar ini diperhatikan oleh para guru-gurunya. Diceritakan, para gurunya itu sangat menyayangi keduanya, ketekunan dan kecerdasan mereka sangat menonjol hingga dalam beberapa tahun saja keduanya sudah dikenal di kota Mekkah hingga keduanya di juluki “dua Mutiara dari Banjar.” Tak mengherankan jika keduanya dibawah bimbingan Sayyid Muhammad Amin Kutby bahkan sempat mendapatkan kepercayaan mengajar selama beberapa tahun di Mesjidil Haram.

Selain mempelajari ilmu-ilmu syariat ia juga mengambil bai’at tarekat dari para masyayikh (guru) di sana, di antaranya bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari syekh umar Hamdan dan Tarekat Samaniyah dari Syeikh Ali bin Abdullah Al-Banjari. Setelah kurang lebih sepuluh tahun menuntut ilmu-ilmu agama di Makkah pada tahun 1939 bersama sepupunya iapun kembali pulang ke Indonesia dan langsung menuju tanah kelahirannya Martapura.

Beliau dikenal sebagai seorang yang hafal Al-qur’an dan di dalam dirinya terkumpul ilmu syariat tarekat hakikat dan ma’rifat namun demikian hal tersebut justru menjadikannya sebagai seorang alim yang semakin tawadhu’, Sepulang kepulangan beliau dari Mekkah ia menyelenggarakan mejelis ilmu di rumahnya. Beliau sempat juga mengajar di Madrasah Darussalam.

Suatu saat, ia diminta untuk menjadi seorang qadhi namun hal tersebut ditolak karena beliau lebih senang dakwah tanpa terikat dengan lembaga apapun. Tahun 1943 ia pergi ke kota Bangil dan membuka majelis untuk lingkungan sendiri hingga tahun 1944 dan sempat berguru pula dengan Syeikh Muhammad Mursydi Mesir.

Setahun di Bangil beliau lalu kembali lagi ke Martapura, kemudian pada tahun 1950 ia sekeluarga memutuskan untuk hijrah kekota Bangil, sewaktu menetap di Bangil kali inipun beliau tidak membuka majelis secara terbuka kecuali kalangan sendiri. Ia cendrung mempelajari dahulu keadaan lingkungan penduduk dikota tersebut,dikemudian hari sikapnya ini menjadikan dirinya sebagai sosok yang disegani oleh para ulama di Jawa Timur,

Namun demikian ia selalu berusaha menyembunyikan keunggulan yang dimilikinya pada akhirnya para ulama Bangil pun mengetahui keistemewaan pribadi ulama yang satu ini. Guru Bangil demikian Alm Abah Guru Sekumpul memanggil beliau dimanapun beliau tinggal senantiasa berada dalam keseharian yang sangat sederhana. Tak banyak yang tahu bahwa sekalipun telah menjadi tokoh besar,selain pakaiannya yang sederhana di kamar tidurnya pun ia tidak menggunakan ranjang ia juga tidak mempunyai lemari khusus untuk pakaiannya. Pakaian miliknya diletakkan menumpang pada bagian lemari kitabnya,

Ia mengambil jalan Khumul (menjauh dari keramaian) dan tak berharap akan kemasyuran, hingga kyai hamid pasuruan (seorang wali ditanah jawa) pernah mengatakan “saya ingin sekali seperti kyai syarwani. Dia itu alim tapi Mastur tidak Masyhur kalau saya ini sudah terlanjur Masyhur,jadi saya sering kerepotan karena harus menemui banyak orang.

Menjadi orang masyhur itu tidak mudah, bebannya berat, kalau Kyai Syarwani itu enak,jadinya tidak banyak didatangi orang. Suatu ketika sejumlah kiai berkumpul dan berinisiatif untuk mendalami ilmu agama dalam halaqah khusus kepada Kyai Hamid Pasuruan. Namun setelah hal tersebut disampaikan kepada kyai Hamid beliau menolak permintaan itu seraya menyarankan supaya mereka hendaknya mendatangi KH Syarwani Abdan.

Berdasarkan arahan Kyai Hamid merekapun mendatangi KH.Syarwani Abdan dan menyiapkan beberapa pertanyaan untuk sekdar mengetahui seberapa dalam ilmu dari KH Syarwani Abdan,ketika mereka datang. Guru Bangil sedang duduk sambil membaca sebuah kitab, diawal pembicaraan sebelum mereka sempat membuka pertanyaan yang telah mereka persiapkan,Guru Bangil mendahului bertanya kepada mereka.

“Antum ke sini ingin bertanya masalah ini dan itu ,kan?..ia menanyakan hal itu sambil menunjuk kitab yang masih terbuka tadi. Kontan hal ini membuat mereka takjub sekaligus kagum kepadanya tak cukup sampai disitu, Ternyata semua pertanyaan yang telah mereka persiapkan dengan tepat terjawab dalam halaman kitab yang masih terbuka di tangan beliau.

Setelah mengalami kejadian tersebut merekapun meyakini keluasan ilmu serta ketajaman batin Guru Bangil pada akhirnya mengertilah mereka mengapa Kyai Hamid pasuruan menganjurkan mereka agar mendatangi KH Syarwani Abdan,setelah yakin akan hal itu mereka akhirnya meminta kepada Guru Bangil untuk membuka majelis untuk mereka, Saat itu beliau tidak serta merta mengabulkan permintaan mereka tetapi terlebih dahulu menanyakan hal tersebut kepada KH Hamid.

Setelah KH Hamid memberi isyarat persetujuan barulah ia bersedia membuka majelis untuk para Kiai ini. Subhanallah kedua kiai besar yang tawadhu’ ini memang saling mencintai dan menghormati satu sama lain.

Kiai Hamid adalah ulama besar yang kharismatis dan menjadi tujuan kedatangan banyak orang karenanya tak jarang orang yang datang kesulitan menemui beliau. Tapi anehnya berdasarkan pengalaman orang orang yang pernah bertemu beliau, mereka akan mudah menemui Kiai Hamid bila sebelumnya orang tersebut menemui KH Syarwani Abdan. Tak jarang baru sampai di depan pintu, Kiai hamid sendiri yang membukakan pintu kepada para tamu. Entah Sirr (rahasia) apa yang didapat oleh para tamu Kiai  Syarwani Abdan, hingga kiai hamid selalu menyambut mereka dengan penuh suka cita padahal pada saat itu belum ada alat komunikasi seperti sekarang.

Akhirnya mulai banyak yang menimba ilmu kepadanya, Dan atas dasar dorongan para ulama serta rasa tanggung jawabnya untuk menyiarkan ilmu ilmu agama sebagai amanah Allah dan Rasulullah maka pada tahun 1970 ia memutuskan mendirikan pesantren yang ia beri nama PP Datuk Kalampayan nama yang diambil untuk mengambil berkah julukan datuknya yaitu Syekh Muhammad arsyad Al-Banjari, para santrinya banyak berasal dari Banjar hingga Pondok Pesantren itu sendiri sering disebut orang Pondok Banjar.

Di antara salah satu karangan beliau adalah risalah yang sangat terkenal yaitu Adz-Dzakhiratuts Tsaminah li-Ahlil Istiqamah (simpanan berharga) risalah yang berisi masalah Talqin, tahlil dan tawasul, Di samping tulisan tulisan itu beliau juga meninggalkan karya hidup yaitu murid murid beliau diantaranya adalah yang mulia Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari dan melalui lisan beliaulah maka Syekh Muhammad Syarwani Abdan sering disebut Guru Bangil.

Kiai Abdurrahim,Kiai Abdul Mu’thi,Kiai Khairan(daerah Jawa), KH.Prof.Dr.Ahmad Syarwani Zuhri (Pimpinan PP.Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Balikpapan), KH.Muhammad Syukri Unus (Pimpinan MT sabilal Anwar al-Mubarak Martapura), KH.Zaini Tarsyid (Pengasuh MT Salafus Shaleh Tunggul Irang seberang Martapura) yang juga menantu beliau, KH.Ibrahim bin KH.Muhammad Aini (Guru Ayan) Rantau, KH.AhmadBakeri (Pengasuh PP al-Mursyidul Amin Gambut), KH.Syafii Luqman Tulung Agung, KH.Abrar Dahlan (Pimpinan PP di Sampit Kalimantan Tengah). Safwan zuhri (Pimpinan PP sabilut Taqwa Handil 6 Muara Jawa Kutai Kertanegara) dan banyak lagi tokoh tokoh lainnya yang tersebar dipenjuru indonesia, Guru Sekumpul sendiri datang ke Bangil bersama paman beliau seorang ulama tersohor Syeikh Saman Mulia.

Lantaran menghormati sosok Guru Bangil bahkan Syeikh Saman Mulia menganggap Guru Bangil adalah Gurunya. Padahal Guru Bangil sendiri mengakui ketinggian maqam Syeikh Saman Mulia,dalam suatu kesempatan. Guru Bangil mengatakan  bahwa maqam Syeikh Saman Mulia sangat tinggi hingga nasi pun berdzikir di hadapan syeikh Saman.

Namun kebersahajaan hidup Guru Bangil membuat keluarga beliau sendiri tidak banyak mengetahui keistemewaan di balik kebesaran namanya, Mengomentari hal tersebut Guru Saman Mulia mengatakan kepada salah satu putra guru Bangil : kalau kita berdiri di dekat sebuah pohon, kadang kala kita tidak mengetahui tingginya pohon tersebut,tapi kita akan tahu tingginya pohon tersebut ketika kita memandangnya dari jauh.

Di usia senja, ketika berumur 76 tahun malam selasa jam 20.00 bertepatan 12 syafar 1410 H/11-12 september 1989 M di kediaman beliau di jalan Kauman bangil Jawa Timur roh nya yang suci kembali ke rahmatullah. Sementara tubuhnya dimakamkan di pemakaman keluarga dan para habaib berbangsa Al-Haddad di dekat makam habib Muhammad bin Ja’far Al-Haddad di Dawur Bangil kurang lebih 1 km dari kediaman beliau.

Berdasarkan wasiat tertulisnya putra tertuanya yang ia beri nama dengan nama gurunya Kasyful Anwar saat ini meneruskan kiprahnya dalam mengasuh Pondok Pesantren Datuk Kalampayan Bangil. Mudah mudahan rahmat Allah selalu tercurah buat beliau dan seluruh keluarganya.

MENGENANG KYAI ACHMAD ASRORI AL ISHAQI: ANAK MACAN YANG AKHIRNYA JADI MACAN

KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI  memang telah dipanggil Allah SWT pada 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB di tempat mukimnya Kedinding Surabaya. Namun kepribadiannya yang istimewa meninggalkan banyak kenangan.

Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman akhirnya menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada usia 30 tahun.

Salah seorang penerus Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) yang terkenal adalah Kyai Achmad Asrori al-Ishaqi, pendiri dan pengasuh pondok pesantren al-Fithrah Kedinding Surabaya, Jama‟ah pengajian al-Khidmah yang tersebar di berbagai pelosok  nusantara. Kyai Ahcmad Asrori  lahir di Surabaya, 17 Agustus 1957. Ahmad Asrori al-Ishaqi adalah putera Kyai Utsman al-Ishaqi, mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN), ulama besar dari Surabaya. Achmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah saw, tepatnya keturunan yang ke 38, dari garis Husain bin Ali. Nama al-Ishaqi dinisbatkan kepada Maulana Ishaq (Sunan Giri), adik Maulana Malik Ibrahim, Walisongo yang dikenal sebagai Sunan Gresik.  

Sebelum lebih jauh mengenal Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini, terlebih dahulu harus diketahui mengenai Qadiriyah dan Naqsyabandiyah itu sendiri. Pada awalnya, tarekat ini berdiri sendiri-sendiri, yaitu tarekat Naqsyabandiyah dan tarekat Qadiriyah. Untuk itu, berikut ini sekilas tentang tarekat masing-masing:

QADIRIYAH: Tarekat ini adalah tarekat yang didirikan dan dibangsakan kepada Sayyid Abdul Qadir Jailani di negeri Baghdad. Beliau lahir pada tahun 470 H (1255) dan meninggal di tahun 561 H (1164). Jadi berusia 90 tahun. Penganut tarekat ini amat banyak dan pengaruhnya amat besar sampai ke Maroko dan tanah Hindustan. Tarekat Qadiriyah beredar di seputar ibadah dan suluk dengan tetap menyebut zikir yang berhubungan dengan nama Allah dengan kaifiat tertentu

Praktek ibadah tarekat ini tidak hanya merefleksikan kepercayaan kelompok itu sendiri tetapi juga pendirian sufi secara umum berdasarkan peranan dan keajaiban sang guru dari pengalaman mystik yang bermacam-macam. Prosedur keanggotaan berisi bai‟at dengan “berdzikir dalam ketaatan kepada syeikh dan syeikh menerima keanggotaannya sebagai seorang anak.

Tujuan utama tarekat ini – seperti pada umumnya tarekat tarekatialah menekan hawa nafsu yang menjadikan manusia jauh dari Tuhannya. Untuk itu, wirid berupa salat sunnah, zikir, dan do‟a senantiasa dipraktekkan sepanjang waktu. Seperti di waktu pagi, sore, siang dan malam

TAREKAT NAQSYABANDIYAH:  salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Muslim Asia serta Turki, Bosnia Herzegovina dan wilayah Dagestan Russia. Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi berasal dari Bahasa Arab yakni Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang berarti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Bahauddin Naqhband Bukhari.  Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”, “pembuat hiasan”. Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai”, atau “Rantai Emas”. Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Abu Bakar, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Ali bin Abu Thalib.

Pendiri Tarekat ini adalah Muhammad Bahauddin Naqshband AlBukhari Al-Uwaisi Rahmatullah „alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 M, Yaitu pada abad ke 8 Hijriyah bersamaan dengan abad ke 14 Masehi, di sebuah perkampungan bernama Qasrul „Arifan dekat Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah „alaih dan seterusnya menerima rahasia-rahasia Tariqat dan

Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal Rahmatullah alaih. Ia menerima limpahan Faidhz dari Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam melanjtkan Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah alaih yang telah 200 tahun mendahuluinya secara Uwaisiyah Sesudah Abad kedelapan tumbuhlah tarekat laksana tumbuhnya cendawan. Ajaran tarekat itu berkembang dan diterima oleh para pemeluk  Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sekitar abad XVII M hingga XIX, para tokoh sufi di Indonesia mulai bermunculan. Tarekat-tarekat baru pun mulai muncul. Tarekat-tarekat ini merupakan penggabungan dari tarekat-tarekat pada abad VI H dan VII H, seperti  Syeikh Yusuf Makassari, yang memasukkan unsur-unsur dari Naqsabandiyah yang telah dipilihnya kedalam versi Khalwatiyyah-nya.

Kemudian gabungan tarekat Naqsabandiyah dengan tarekat Syattariyah pernah populer untuk sekian lama di Jawa pada abad XVII dan XVIII. Gabungan tarekat Qadiriyah dengan Naqsabandiyah pun telah diamalkan oleh beberapa syekh termasyhur. Dan juga Sammaniyah (penggabungan tarekat khalwatiyah dengan Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Syadziliyah oleh Muhammad ibn „Abd al-Karim al-Samman.). Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah mungkin sekali didirikan oleh tokoh asal Indonesia, Ahmad Khatib ibn Abd Al-Ghaffar Sambas yang bermukim dan mengajar di Makkah pada pertengahan abad XIX17

Semasa hidupnya, Syekh Ahmad Khatib Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh Abdul Karim Banten. Selain Syekh Abdul Karim, dua wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah Ibn Muhammad Madura. Pada awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri.

Syekh Thalhah mengembangkan kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah Syekh Abdullah bin Muhammad Nur atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya dan putranya yang kharismatik Syekh Ahmad Shahibul Wafa‟ Taj Al-Arifin. Khalifah lain di Jawa Barat adalah Kyai Falak, yang juga berasal dari Banten, yang mengembangkan TQN di daerah Pagentongan, Bogor Jawa Barat

Untuk daerah Jawa Tengah, penerus TQN yang penting adalah K.H. Muslih Adburrahman (Mbah Muslih), yang menerima ijazah TQN dari K.H. Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur. Salah satu murid Kyai Muslih, yakni Kyai Abu Nur Jazuli menyebarkan TQN di Brebes. Murid lainnya, K. H. Durri Nawawi mengajarkan TQN di Kajen, Pati .

AJARAN TASAWUF KYAI ASRORI

Sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.

Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang. Berikut silsilahnya :

Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Kini, ulama yang sudah menghadap Alah SWT itu menjadi magnet tersendiri bagi kaum sufi-  ahli thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).

Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.

Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.

Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.

Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di Kota Pekalongan dan Batang.

Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.

Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.

Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.

Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan lain lain.

Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.

Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak dilupakan ummat Islam.

Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan, sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”, ujarnya usai acara.

GARIS BESAR PEMIKIRAN K.H. ACHMAD ASRORI AL-ISHAQY

K.H. Achmad Asrori al-Ishaqy adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah al-Ustmaniyah. Didaulat menjadi mursyid, ketika ia masih berusia 30 tahun. Usia yang tergolong sangat muda untuk dijadikan sebagai panutan umat. Akan tetapi, sebelum menjadi mursyid, ia telah memulai dakwahnya dengan cara mendirikan masjid dan mengelolanya di lingkungan tempat tinggalnya. Masjid inilah yang kemudian menjadi markas besar pengembangan tarekat yang dipimpinnya. Berawal dari masjid ini, pengembangan tarekat diusahakannya sedemikian rupa, hingga berdiri lembaga pendidikan, yayasan dan organisasi al-Khidmah. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Al-Ustmaniyah, terutama saat di bawah kepemimpinan K.H. Achmad Asrori, merupakan organsasi tarekat yang cukup pesat perkembangannya, di dalam dan luar negeri. Apalagi jika melihat perkembangan Jama‟ah Al-Khidmah yang didirikannya, tidak terbatas pada kaum tua, melainkan telah banyak diminati oleh generasi muda. Fenomena ini perlu dikaji lebih jauh, agar dapat diperoleh pemahaman yang bermakna .

Pemikiran tasawuf K.H. Achmad Asrori al-Ishaqy tidak terlalu jauh berbeda dengan para pendahulunya dalam rangkaian struktural Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah. Hal ini ditandai dengan berbagai penjelasannya tentang maqamat dan ahwal, yang senantiasa mengikuti apa yang telah disampaikan oleh para ulama shufiyah, seperti al-Ghazali, al-Thusi, al-Sakandary, dan lainlain. Ini menunjukkan bahwa pemikiran tasawufnya, bercorak Sunni. Kedua, Melalui kajian tentang pola pengembangan tarekatnya, K.H. Achmad Asrori mengikuti pengembangan ala neosufisme. Hal ini ditandai oleh kecenderungannya dalam mengembangkan tarekat dengan cara-cara modern, rasional dan moderat, melalui Lima Pilar ajarannya.

Trend dunia saat ini memasuki era baru yang dinamakan era digital, segala sesuatu diukur dengan banyaknya frekuensi angka-angka, semakin banyak angka yang digunakan atau diperoleh, maka derajat manusia akan semakin berharga. Manusia di era ini tak ubahnya bagai robot-robot pencetak angka, yang bekerja siang dan malam untuk menghasilkan nominal, dengan digit yang terbatas yang dimiliki. Akibatnya, banyak sekali yang karena tidak kuat untuk mengikuti trend yang ada, maka terjadilah penyimpanganpenyimpangan perilaku dan sikap dalam hidupnya.

Menurut M. Amin Syukur, manusia sekarang ini, sebaiknya lebih mengedepankan akhlak sebagai ajaran mengenai moral, yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Ajaran-ajaran akhlak dalam tasawuf, terutama tasawuf akhlaki (perilaku baik), membimbing seseorang untuk memiliki akhlak dan sopan santun baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhannya.

Ajaran tasawuf, dewasa ini lebih banyak dikenal dalam organisasi-organisasi tasawuf yang disebut dengan tarekat. Terutama di Indonesia, banyak sekali tarekat-tarekat yang termasyhur, di antaranya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat yang dimunculkan oleh Syeikh Acmad Khatib Sambas ini, terus terkembang sedemikian rupa, hingga saat ini. Perkembangannya demikian pesat, nampaknya melebihi tarekat-tarekat lain yang ada di Nusantara.

Ajaran tasawuf K.H. Achmad Asrori al-Ishaqy, nampaknya sederhana dan mengena ke masyarakat. Ini terbukti dengan hadirnya ribuan jama‟ah, mana kala ia menyampaikan taushiyah. Meski jama‟ah ini juga merupakan bentukannya, namun tak dapat dipungkiri bahwa banyak di antara mereka hanya simpatisan, yang bukan merupakan anggota tarekat yang dipimpinnya, yang tertarik mengikuti kegiatan karena dorongan kebutuhan akan spiritualitas, dan sosok santun sang kiyai K.H. Achmad Asrori al-Ishaqy dalam ajaran tasawufnya, terlihat lebih menekankan adab. Menurutnya, “Adab adalah kunci pintu menuju Allah, jika tidak ada adab, maka kita tidak dapat memasuki pintu menuju Allah, dan kita tidak bisa sampai dan disampaikan bersimpuh di hadirat Allah SWT. Meski demikian, ajaran tasawuf Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy, cenderung praktis. Ia memberikan bimbingan kepada para jama‟ah atau murid tarekat untuk menyelaraskan kehidupan duniawi dengan senantiasa ingat kepada Allah SWT melalui dzikir. Dzikir yang diajarkan adalah dzikir tauhid yang dapat menguatkan akidah dan keimanan seseorang, jiwa akan hidup dan akal akan selamat. Selain itu fisik akan selalu sehat, karena keimanan merupakan tulang yang mampu membawa manusia dari keputusasaan kepada semangat yang kuat dan dari kekacauan kepada ketenteraman. Seseorang yang beriman akan merasakan bahwa ketenteraman itu memenuhi ruang jiwanya

Di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, sekular serta kehidupan yang sangat sulit secara ekonomi maupun psikologis, ajaran tasawuf Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy dapat menjadi obat penawar ruhaniah.

Perkembangan tarekat yang satu ini, menarik untuk dibahas lebih lanjut, sebab di lapangan, banyak sekali upaya yang dilakukannya dalam pengembangan tarekat, agar dapat diterima oleh masyarakat di satu sisi, dan memenuhi kehausan masyarakat akan spiritualitas di sisi lain.

Tarekat yang dikomandoi oleh Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy yang mengalami perkembangan cukup pesat dalam waktu yang relatif singkat (1978 – 2009), yang gerakannya nampak hampir ada di seluruh provinsi di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri, ini sungguh menarik. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Dimulai dari Kyai Mustain  Romli masuk Golkar menjelang pemilu 1977. Menarik untuk dicatat, bahwa KH. Achmad Asrori al-Ishaqy juga memiliki hubungan keguruan dengan Kyai Mustain Romli ini. Pemikiran KH. Achmad Asrori melalui ceramah-ceramahnya yang diputar di Radio Rasika FM. Lokus dari Radio Rasika FM ini mencakup Jawa Tengah, representasi pemikiran KH. Achmad Asrori al-Ishaqy yang diperuntukkan bagi jama‟ah al-Khidmah Jawa Tengah. Sebab, hampir menjadi kesepakatan umum, bahwa Radio Rasika FM ini menjadi sarana komunikasi dan informasi berkenaan dengan al-Khidmah yang ditujukan kepada para jama‟ah di tingkat Jawa Tengah. Namun demikian, ini telah menyinggung pemikiran tasawuf KH. Achmad Asrori al-Ishaqy.

Secara historis, pada tahun 1970-an, tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah merupakan tarekat yang paling berwibawa di Jawa Timur, termasuk Madura, dan mengalami perkembangan di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang yang didirikan oleh Kyai Tamim asal Madura, merupakan pusatnya. Tarekat ini diperkenalkan kepada menantu laki-lakinya, Kyai Khalil yang telah memperoleh ijazah dari dari Syekh Ahmad Hasbullah di Makkah. Kyai Khalil memberikan jubah kepemimpinannya kepada putra Kyai Tamim yaitu Kyai Romli Tamim, yang pada gilirannya digantikan oleh putranya, Kyai Mustain Romli .

Kyai Utsman al-Ishaqi Surabaya adalah khalifah senior Kyai Romli yang wafat pada tahun 1984. Sebelum wafat, beliau sudah menunjuk salah seorang putranya, Kyai Achmad Asrori al-Ishaqi, sebagai penggantinya sebagai mursyid dalam tarekatnya karena menurut beliau, Asrorilah yang pantas mengajar fiqh dan tasawuf. Sebetulnya Kyai Asrori al-Ishaqi sudah dilantik sebagai khalifah oleh ayahnya pada tahun 1978. Sejak wafatnya sang ayah, Kyai Achmad Asrori al-Ishaqi yang memimpin semua kegiatan, termasuk ketarekatan di Pesantren Sawahpulo Surabaya dan selanjutnya mendirikan pula Pesantren al-Fithrah di Kedinding Lor Surabaya. Seiring dengan jalannya waktu, jama‟ahnya semakin bertambah hingga ribuan orang, bahkan jutaan orang, karena tarekat ini merupakan tarekat fenomenal yang akan menjadi oase dunia karena terbukti perkembangannya yang begitu cepat, sudah sampai ke luar negeri, Singapore, Malaysia, Bruney Darusalam, Thailand, Arab Saudi dan Australia. Inilah tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah al-Utsmaniyah

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini, pada awal abad XV H (saat ini) banyak dikenal oleh masyarakat melalui tangan halus K.H. Achmad Asrori al-Ishaqy. Tarekat ini populer melalui organisasi keagamaan yang bernama al-Khidmah, dan Pondok Pesantren al-Fithrah.

Hal yang menarik dalam ajaran Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah Utsmaniyah ini, termasuk ajaran tarekat K.H. Achmad Asrori al-Ishaqy, di mana mereka cenderung mengagungkan Rasulullah, para sahabat dan ahlul bait-nya, segala bentuk pemahaman maqamat dan ahwal, senantiasa dikaitkan dengan cinta rasul. Yang terpenting dan merupakan inti ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah dzikir, yakni dzikir lisan dan dzikir qalbu. Dzikir lisan atau disebut juga dzikir nafi itsbat yaitu ucapan lâ ilâha illa Allah. Pada kalimat ini terdapat hal yang menafikan yang lain dari pada Allah dan mengitsbatkan Allah. Sedangkan dzikir qalbu yaitu dzikir yang tersembunyi di dalam hati, tanpa suara dan kata-kata. Dzikir ini hanya memenuhi qalbu dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah, seirama dengan detak jantung serta mengikuti keluar masuknya nafas.

Sementara dzikir qalbu atau dzikir ismu dzat adalah dzikir kepada Allah dengan menyebut Allah, Allah, Allah secara sirr atau khafi (dalam hati) dzikir ini juga disebut dengan dzikir lathâif yang merupakan ciri khas Tarekat Naqsyabandiyah.

umum, semua ajaran Kyai Achmad Asrori al-Ishaqi, dalam hal praktek ketarekatan, telah tersusun melalui 5 (lima) pilar utama yang telah ditetapkan sebagai soko guru, tuntunan, bimbingan dan wasiatnya sebagai mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Utsmaniyah. Berdasarkan lima pilar utama tersebut, dapat ditelusuri mengenai apa dan bagaimana pemikiran Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy dalam mengembangkan TQN. Lima pilar yang dimaksud adalah: Pertama, hal yang berkenaan dengan alThariqah; Kedua, hal yang berkenaan dengan Pondok Pesantren Assalafi AlFithrah; Ketiga, hal yang berkenaan dengan Yayasan Al-Khidmah Indonesia; Keempat, hal yang berkenaan dengan Perkumpulan Jama‟ah Al-Khidmah; dan, Kelima, hal yang berkenaan dengan Keluarga Hadlratus Syaikh Achmad Asrori Al-Ishaqi RA, yaitu istri serta putra-putri keturunannya.

Lima pilar yang disebutkan di atas, merupakan pokok ajaran dan tuntunan serta bimbingan yang harus dijadikan sebagai pedoman bagi para pengikutnya. Sebab, Jamaah Thariqah al-Qadiriyyah Wa alNaqsyabandiyyah,Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah, Yayasan AlKhidmah Indonesia, Perkumpulan Jama‟ah Al-Khidmah dan Keluarga dihimpun dalam satu wadah tersebut. Diberikannya pedoman Lima Pilar Utama ini, memiliki maksud dan tujuan sebagai sokoguru tuntunan dan bimbingan Hadlratus Syaikh agar dijadikan dasar dan pegangan serta pedoman dan landasan yang kuat, bagi dan oleh setiap dan segenap murid TQN serta jamaahnya di dalam ber-khidmah.

Adapun pokok-pokok pikiran yang merupakan pemikiran Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy, antara lain: ketarekatan, kependidikan, keorganisasian, keummatan, dan kekeluargaan. Masing-masing pokok pikiran tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Pilar I : Ketarekatan

Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy memahami, bahwa masih banyak orang yang anti terhadap tarekat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya terjadi kesalahpahaman dalam memaknai tarekat. Kesalahpahaman itu antara lain, masih banyak yang memandang bahwa amalan-amalan tarekat sangat ketat dan berat, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk mengamalkannya. Kemudian,untuk memasuki tarekat, seseorang haruslah memiliki tingkat kesucian lahiriah dan batiniah tertentu.

Padahal, menurut Kyai Asrori, akan terjadi dampak negatif yang luar biasa dalam umat Islam, jika mereka enggan memasuki tarekat. Dampak negatif itu antara lain: Pertama, merosotnya penghayatan keagamaan, akibat makin meningkatnya semangat sektarianisme dan formalisme. Kedua, melemahnya dimensi spiritualisme akibat pendewaan terhahadap rasionalisme, positivisme dan ilmu pengetahuan. Ketiga, melemahnya kesalehan sosial akibat melemahnya semangat saling menghargai, saling menyayangi dan saling menolong antar sesama manusia. Oleh karena itu, diperlukan institusi yang khusus menangani masalah spiritualitas. Dalam hal ini, tarekatlah yang lebih membidangi persoalan ini.

Bila dibandingkan dengan alasan-asalan yang dikemukakan oleh para cendekiawan berkenaan dengan urgensi spiritualitas pada umumnya dan sufisme serta tarekat pada khususnya, maka tampak sekali ada kesamaan. Bahwa di samping memberi kemudahan bagi manusia, manusia juga terasing dari dimensi spiritualitasnya. Ketika manusia melepaskan diri dari koneksi spiritualitas, maka ia akan seperti layang-layang yang putus dari benangnya, tidak menyangkut ke langit dan tidak pula ke bumi. Kondisi masyarakat modern berada pada tepi eksistensi yang sesungguhnya, bukan pada pusat eksistensi, oleh karena itu menimbulkan kegelisahan-kegelisahan yang berasal dari dirinya sendiri.

Sebab-sebab kegelisahan itu dapat diklasifikasi menjadi empat macam, yaitu: Pertama, karena takut kehilangan apa yang dimiliki; Kedua, timbulnya rasa khawatir terhadap masa depan yang tidak disukai (trauma akibat imajinasi masa depan); Ketiga, rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan; dan, Keempat, banyak melakukan pelanggaran dan dosa. Karena itu wajar bila kehidupan modern sekarang ini tampil dengan wajah antagonistik. Di satu pihak modernisme telah mendatangkan kemajuan spektakuler dalam bidang material. Tetapi di lain pihak modernisme menghasilkan wajah kemanusiaan yang buram, seperti terlihat pada akibat-akibat kemanusiaan yang ditimbulkannya. Beberapa akibat tersebut antara lain, manusia modern semakin tidak mengenal dan terasing dari dirinya sendiri dan Tuhannya setelah mengalami kehidupan yang sedemikian mekanistik; munculnya kegelisahan dan kegersangan batiniah dan krisis tentang makna dan tujuan hidup.

Dengan demikian, mendesak bagi tiap individu untuk menemukan dirinya secara utuh, mulai dari dimensi fisik, mental dan spiritual. Tapi mereka tidak memiliki keberanian yang cukup untuk memasuki tarekat, karena sejumlah alasan yang telah disebutkan di atas. Maka berdirinya Jama‟ah al-Khidmah ini dapat menjadi salah satu jawabannya. Secara umum, jamaah ini bertujuan untuk mewadahi mereka yang belum siap secara mental dan spiritual untuk masuk ke dalam tarekat, tetapi sangat membutuhkan dzikir-dzikir dengan bimbingan orang-orang yang memiliki genealogi spiritual yang jelas.

Baik alasan-alasan yang dikemukakan oleh Kyai Asrori maupun para cendekiawan pada umumnya berkenaan dengan urgensi sufisme dan tarekat di era modern ini, sama-sama bertumpu pada sisi negative kemanusiaan. Dengan kata lain, sufisme dan tarekat dibutuhkan pada saat manusia kehilangan salah satu dimensi kemanusiaannya. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa ketika manusia mampu menemukan dirinya secara utuh, maka sufisme dan tarekat tidak dibutuhkan. Kesimpulan ini ada benarnya. Sehingga beberapa orang menganggap bahwa sufisme dan apalagi tarekat tidak diperlukan. Namun demikian, akan lebih tepat kiranya bila dinyatakan bahwa sufisme dan tarekat diperlukan dalam kondisi apapun, baik dalam kondisi senang maupun susah, dalam kondisi utuh maupun tidak utuh. Sebab sufisme dan tarekat, dalam arti spiritualismenya, merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia, agar manusia dalam kondisi tertentu akan tampak tingkatan-tingkatan ruhaniahnya, yang disebut ”maqamat”, sedang hasil yang dicapai karena karunia Allah disebut ”ahwal”.

Menurut K.H. Achmad Asrori, hati yang baik dan bagus (Jawa, genah) merupakan kemaslahatan yang agung. Sedangkan hati yang rusak (bobrok) merupakan kerusakan yang sangat dahsyat. Sehingga mengetahui hal-hal yang menjadikan hati baik dan bagus merupakan keharusan yang harus dicari. Demikian juga mengetahui halhal yang menyebabkan rusak dan bobroknya hati, agar dijauhi. Hal-hal yang menjadikan hati baik dan bagus itu ada tiga tahapan: Pertama, ilmu, yakni mengetahui dan mengerti Allah, sifat-sifat Allah dan asma-asma Allah, membenarkan semua yang dibawa oleh para rasul, desertai dengan mengetahui hukum-hukum dan pengertiannya, mengetahui gerak-gerik tujuan dan maksud hati, serta prilaku yang terpuji dan prilaku yang tercela. Kedua, amal perbuatan yakni menghiasi hati dengan prilaku yang terpuji, membersihkannya dari prilaku yang tercela, mendudukkan hati pada maqam pendakian dan meningkatkannya menuju pendakian yang lebih utama. Ketiga, prilaku batin (ahwal) yakni merasa diawasi oleh Allah atau menyaksikan Allah sesuai dengan kadar kesiapan dan persiapannya. Sebagaimana dalam penjabaran sabda rasulullah saw ”Menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya”.

Modal utama dalam kebaikan dan kebagusan hati adalah memperhatikan makanan yang halal dan menjauhi hal-hal yang syubhat, karena makanan yang haram dan syubhat akan mengakibatkan hati menjadi gelap, keras dan sikap tidak mudah menerima kebenaran.

Dalam al-Maqshadul Asna fi Syarhi Asmail Husna (al-Ghazali) dari hadits Nabi: ”Berahklaklah dengan akhlak-akhlak Allah”, dan “Sesungguhnya Allah memiliki 117 (seratus tujuh belas) akhlak, barang siapa berbudi dengan salah satunya, maka ia akan masuk surga” juga dapat diartikan: Wujudnya maqam baqa‟ setelah maqam fana‟, sehingga sifat-sifat seorang hamba akan lebur dan terlipat, sebab adanya tajalliyyat (penampakan) sifat-sifat ketuhanan kepadanya. Sehingga dapat di simpulkan bahwa fana‟ itu ada tiga, yaitu: sirna, semua perbuatannya sebab perbuatan-perbuatan Allah, sirna, semua sifatnya sebab sifat-sifat Allah, dan sirna, dzatnya sebab Dzat Allah. Oleh karena itu, ketika kecintaan dan kedekatan hamba kepada Allah telah menyirnakannya dari dirinya, maka Allah akan mendudukkannya pada maqam baqa‟. Fana‟ adalah jalan untuk menuju baqa‟.

Barang siapa sempurna maqam fana‟nya, maka sempurnalah maqam baqa‟nya. Dan barang siapa sirna dari selain Allah, maka baqa‟nya hanya dengan Allah Fana‟ menjadikan mereka diampuni, sedangkan baqa‟ menjadikan mereka mendapat pertolongan. Fana‟ dapat menghadirkan apapun bersama Allah, maka mereka tidak akan pernah putus oleh sebab apapun.  Fana‟ dapat mematikan mereka, sedangkan baqa‟ dapat menghidupkan mereka.

Masih berhubungan dengan fana‟ adalah rabithah, merupakan istilah dari ikatan dan jalinan ruhani seorang salik dengan gurunya, dengan selalu menjaga dan menghadirkan guru mursyidnya dalam hatinya, atau dengan membayangkan suatu sosok bahwa ia adalah guru mursyidnya. Ketika rabithah sudah mewarnai seorang salik, maka ia akan dapat melihat guru mursyidnya pada segala sesuatu. Hanya berdzikir saja tanpa disertai dengan rabithah (membayangkan wajah guru ketika berdzikir) dan tanpa disertai dengan fana‟ pada guru mursyid tidak akan pernah mendekatkan, menghantarkan dan menyampaikan salik di sisi Allah SWT. Adapun rabithah yang  disertai dengan adab-adab, karena adab adalah kunci pintu menuju Allah, jika tidak ada adab, maka tidak adapat memasuki pintu menuju Allah, dan tidak bisa sampai dan disampaikan bersimpuh di hadirat Allah SWT

Tingkatan (maqomat) menurut Kyai Asrori,  ada empat macam yang harus dilakukan oleh seorang salik untuk menuju maqamat di atas, yaitu maqam cinta dan rindu terlebih dahulu. Untuk bisa sampai ke kedua maqam ini, si salik harus memenuhi syarat-syarat berikut:

Seseorang salik yang ingin mengenal, melihat dan bersimpuh di hadapan Allah hendaknya bisa menjalankan prilaku tirakat, mengurangi makan (taqlilu al-tha‟am), menjalankan ibadah baik waktu siang maupun malam, seperti shalat hajad, shalat tahajud, dan shalat sunnah lainnya.

Seorang salik hendaknya mampu menjalankan, menghurangi tidur memperbanyak ibadah baik siang maupun malam hari (taqlilu almanam), menjalankan ibadah baik waktu siang maupun malam, seperti shalat hajad, shalat tahajud, dan shalat sunnah lainnya.

Seorang salik harus mampu mengurangi, menghindari masalah keduawian (i‟tizal al-anam) memperbanyak ibadah, tidak silau dengan keadaan, pernik keindahan, permasalahan kebutuhan dunia, kecuali hanya sekedarnya bisa hidup, dan menghidupi.

Seorang salik hendaknya senang berkorban dalam mengarungi bahtera hidupnya dengan menghiasi dirinya dengan mahabbah, taqarrub, kumpul dengan orang-orang shaleh (wa shahbatu ahli al-kamal). kumpul dapat di artikan, seperti kumpul dalam majelis dzikir, yasin, tahlil, shalawat, manaqib, maulid al- rasul, bahkan majelis kirim doa (dalam bahasa jawa, kirim dongo, andum dongo) kepada Rasulullah, sahabat-sahabatnya, para auliya‟ dan ulama‟ salafus shaleh, kepada guru-guru, kepada saudara-saudara, teman-teman, baik teman bermain (masa kecil), teman-teman kerja, dan teman-teman sekarang, kepada tetangga, dan kirim doa kepada keluarga sendiri.

Dengan demikian, sesungguhnya K.H. Achmad Asrori al-Ishaqy, hendak menunjukkan bahwa tidak ada yang negatif dari perilaku tarekat, sebaliknya justru merupakan sesuatu yang sangat urgent dalam kehidupan modern saat ini. Namun bagaimanapun juga, karena ketakutan dan kesalahpahaman terhadap keberadaan tarekat itu sudah demikian mengakar, maka diperlukan strategi yang tepat untuk mengatasinya. Salah satunya, apa yang dilakukan oleh Kyai Asrori, yakni dengan mendirikan organisasi keagamaan al-Khidmah, yang didukung pula dengan lembaga pendidikan formal dan non-formal, seperti al-Fithrah.

Pilar II: Kependidikan

Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy, menjadi mursyid TQN, ketika ia baru berusia 30 tahun. Ia ditunjuk langsung oleh ayahnya, Kyai Usman alIshaqy, dengan wasiat sebelum wafat. Sebelumnya, tonggak kepemimpinan TQN dipegang oleh Kyai Minan, kakak Kyai Asrori, namun setahun kemudian diserahkan kepadanya. Tidak diketahui secara pasti menganai penyerahan ini. Sebagai pemimpin yang baik, Kyai Asrori ternyata tidak main-main dalam menjalankan amanah. Sebelum menjadi mursyid, ia telah membuat sebuah gerakan spektakuler, yaitu mendirikan pondok pesantren, yang bermula dari jama‟ah kecil di masjid dekat rumahnya. Kemudian, setelah pesantren berdiri, ia melanjutkan program pembinaannya, sesuai dengan gaya ketarekatan.

Hal ini sangat luar biasa, nampaknya Kyai Asrori sadar betul bahwa untuk membina jama‟ah, diperlukan sebuah wadah yang tepat.  Pesantren, adalah suatu lembaga, yang selama ini memang „identik‟ dengan tasawuf dengan tarekatnya. Melalui pesantren inilah, disinyalir ajaran tasawuf melalui tarekat berkembang pesat di Indonesia.

Menurut Alwi Shihab, pesantren merupakan penjabaran real system pendidikan dalam tasawuf. Oleh karena itu, melalui pesantren,  tasawuf maju pesat di Indonesia, sejak dahulu hingga kini. Pesantren menawarkan pengajaran ilmu-ilmu agama dan nilai-nilainya dari segala aspek, dengan pemusatan pada penerapan ilmu-ilmu dan nilai-nilai tersebut dengan mengharap ridha Allah SWT dan Rasul-Nya35

Lebih lanjut, peranan pesantren dalam memantapkan aqidah ahlu al-sunnah wa al-jama‟ah, melalui cara ribath sufi, mewajibkan murid ta‟at kepada syaikh dan menjadikannya suri tauladan untuk menuju kepada ridha Allah SWT, dengan jalan yang dirumuskan syaikh melalui wirid, dzikir, dan disiplin melaksanakan sunnah yang diajarkan oleh syaikh yang bersambung kepada sahabat dan Rasulullah saw., merupakan bukti konkrit bahwa semua aspek dalam tradisi pesantren bersumber dari tasawuf, khususnya tarekat.

Mungkin ada kaitannya dengan pengajaran dari gurunya terdahulu ketika belajar di Rejoso Jombang. Kyai Musta‟in Romli, yang juga seorang syeikh tarekat Qadiriya wa Naqsyabandiyah, telah membuka lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga ke perguruan tinggi, ternyata cukup berhasil dalam mengembangkan tarekat, bahkan menjadi pusat pendidikan umum yang bernafaskan Islam. Menurut Alwi Shihab, para pengamat sepakat bahwa keberadaan Darul Ulum – (di mana Kyai Asrori pernah belajar di sana, pen) – diharapkan dapat mewujudkan tujuan yang diinginkan sebagai benteng tarekat, pusat pendidikan, dan pengajaran di Indonesia.

Mengawali karir sebagai mursyid tarekat, dengan cara mendirikan pesantren, merupkan suatu langkah yang sangat tepat. Melalui pesantren, Kyai Asrori akan dapat mengembangkan ajaran tarekat yang menjadi misinya. System pesantren yang sejak dulu telah bersifat baku, yakni terpusat pada kyai, akan memudahkan Kyai Asrori dalam menerapkan system tarekat yang dianutnya. Nampaknya, perkembangan TQN sampai saat ini, salah satunya karena didukung oleh keberadaan pesantren yang didirikan oleh Kyai Asrori, yaitu pesantren Al-Fithrah.

Untuk mewujudkan misinya, pondok pesantren ini membuat kegiatan sendiri yang lain dari pada yang lain. Secara umum, kegiatan-kegiatan yang ada pada Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah digolongkan menjadi tiga, yaitu syiar, wadlifah dan tarbiyah. Syi‟ar, meliputi minggu manaqib awal, pengajian ahad kedua, haul, majlis dzikir dan maulidur Rasul SAW. Wadlifah Yaitu kegiatan yang bersifat berangkat (Suatu kegiatan yang berkaitan langsung dengan Allah SWT., Baginda Habibillah Rasulilah Muhammad saw Sulthanul Aulia‟ Syaikh Abdul Qodir al Jilany ra. dan Kyai Achmad Asrori al-Ishaqi dan berguna untuk menanamkan dan melatih tanggung jawab dan kejujuran hati kepada Allah SWT, Baginda Habibillah Rasulilah Muhammad saw., Sulthanul Aulia‟ Syaikh Abdul Qodir al -Jailany ra. dan Kyai Achmad Asrori al –Ishaqy.

Kegiatan Wadlifah ini tidak boleh dirubah oleh siapapun dan kapanpun (Majelis Lima Pilar) yaitu:

Jama‟ah maktubah, Shalat sunah (qobliyah dan ba‟diyah, isyraq, dhuha, isti‟adah, tsubutil Iman, hajat dan tasbih);

Aurad-Aurad yang telah di Tuntunkan dan dibimbingkan.

Qiro‟atul Qur‟an Al Karim (dilakukan setelah tahlil subuh, diawal dengan al-Fatihah 3 kali, membaca al-Qur‟an dengan sendiri-sendiri satu juz ditutup dengan kalamun dan do‟a al-Qur‟an.

Maulid (dilakukan : setiap malam jum‟at , diawali dengan Al-Fatihah 3 kali , kemudian membaca Ya Rabby , Inna Fatahna , Yaa Rasulallah, dengan dipandu oleh pembaca, kemudian membaca rawi mulai dari alHamdulillahi al Qowiyyil al Gholib dengan dibaca sendiri – sendiri sampai Fahtazzal Arsyu, lalu Fahtazzal Arsyu sampai Mahallul Qiyaam dibaca dengan dipandu oleh pembaca kemudian Wawulida dan rowi – rowi setelahnya dibaca dengan sendiri – sendiri sampai doa, kemudian membaca nasyid dengan diiringi dengan dzikir.

Manaqib (dilakukan setiap malam ahad, diawali dengan al-Fatihah 3 kali , kemudian membaca manaqib sendiri – sendiri selama 20 menit lalu doa kemudian membaca Ibadallah, Yaa Arhamarrohimin dan nasyid sampai selesai kira – kira 10 – 15 menit .

Nampaknya, melalui kegiatan khusus lembaga pendidikan ini, dapat disimpulkan bahwa Kyai Asrori hendak menancapkan nilai-nilai akhlak al-karimah kepada para siswanya. Mungkin ia sadar, bahwa kemerosotan akhlak di kalangan pelajar, saat ini hampir mencapai puncaknya. Melalui lembaga pendidikan ini, ia ingin menciptakan generasi berakhlak mulia.

Pilar III: Keorganisasian

Berdirinya organisasi (al-Khidmah), secara umum dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa demikian sulitnya mencetak generasi saleh yang dapat menyenangkan kedua orang tua, sahabat, tetangga, guruguru sampai Rasulullah saw. Selain itu masih banyak persoalan yang mendasar, sehingga mendesak didirikannya sebuah organisasi, yang juga dikemukakan sendiri oleh Kyai Asrori al-Ishaqi.

Organisasi itu, tidak langsung bernama tarekat, tapi dengan nama lain yang lebih bisa diterima oleh masyarakat awam. Oleh karenanya, didirikanlah al-Khidmah. Meskipun demikian, Kyai Asrori bukan orang yang buta masalah organisasi. Terbukti, melalui al-Khidmah, Kyai Asrori menetapkan sistem kepengurusan yang jelas dan aplikatif. Menejemen organisasi ditata sedemikian rupa, mengikuti sistem modern, yang jelas-jelas tidak terjadi dalam kepemimpinan tarekat. Akan tetapi, memang ada sedikit yang diselipkan mengenai sistem tarekat, misalnya kewenangan Imam Khususi. Hal ini terlihat dari struktur organisasi al-Khidmah yang minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, koordinator dan seksi-seksi sesuai kebutuhan.

Pilar IV: Keummatan

Sampai akhir hayatnya, Kyai Asrori belum sempat menunjuk salah seorang muridnya untuk menggantikan kedudukannya sebagai mursyid TQN. Tidak juga keluarganya, sebagai penerus estapet kepemimpinan tarekat sebagaimana lazimnya. Hal ini menarik, karena umumnya seorang mursyid telah mengangkat pengganti sebelum ia meninggal.

Ketua Pusat Thariqah, Abdur Rosyid, memaparkan tentang kethariqahan, menjelaskan bahwa: Pertama, pada pengajian Ahad ke-II tanggal 12 Rajab 1430 H / 5 Juli 2009, Kyai Asrori menyatakan tidak ada orang yang bisa menggantikannya sebagai guru mursyid penerus beliau.  Namun, ia menjelaskan tentang syarat-syarat menjadi mursyid, antara lain:

1) Mengetahui dan meyakini „Aqidah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama‟ah dalam bidang Tauhid; 2) Mengetahui dan mengerti Allah (ma‟rifat billah); 3) Mengetahui hukum-hukum fardhu „ain; 4) Mengetahui dan mengerti adab-adab dalam hati, cara membersihkannya, menyempurnakannya, melirik dan melihat terhadap penyakit-penyakit jiwa; dan, 5) Telah diberi restu dan izin dari gurunya.

Selanjutnya, Kyai Asrori telah menetapkan imam khususi di masing-masing wilayah. Imam Khushushi adalah orang-orang yang telah ditunjuk oleh Hadlratus Syaikh Achmad Asrori Al-Ishaqi r.a. untuk menjadi imam Khushushy. Hanya murid thariqah yang telah ditunjuk oleh mursyid/guru thariqah-nya sajalah yang dapat dan diperbolehkan menjadi dan sebagai imam khushushi untuk/dari jama‟ah thariqah yang bersangkutan. Seorang imam Khushushi yang ditunjuk dan telah ditetapkan oleh seorang mursyid/guru thariqah, tidak diberi kekuasaan dan/atau kewenangan sama sekali, dan oleh karenanya, dia tidak diperbolehkan untuk menunjuk dan/atau mengangkat seseorang, atau orang lain sebagai pengganti dirinya dan/atau untuk mewakili dirinya selaku imam khushushy.

Tentang organisasi thariqah merujuk kepada buku Pedoman Kepemimpinan dan kepengurusan dalam kegiatan dan Amaliah alThariqah dan Al-Khidmah. Hadlratus Syaikh telah menetapkan kepengurusan jamaah yang terdiri dari kepengurusan Jama‟ah Thariqah, Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah, Yayasan Al-Khidmah Indonesia dan Perkumpulan Jamaah Al-Khidmah.

Hadlratus Syaikh (K.H. Achmad Asrori) mewajibkan seluruh murid dan jama‟ah untuk tunduk dan taat kepada ketentuan yang telah ditentukan oleh pengurus. Hadlratus Syaikh telah menegaskan dalam majlis sowanan terakhir hari Ahad tanggal 19 Juli 2009 (27 Rajab 1430 H) ….bahwa ia tidak meridloi orang yang ingkar terhadap kepengurusan dan melarang seluruh murid dan jamaah untuk menghadiri majlis yang diadakan oleh orang tersebut (yaitu orang yang ingkar terhadap kepengurusan)”

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka jelaslah bahwa persoalan keummatan telah diserahkan oleh Kyai Asrori kepada para Imam Khususi.  Merekalah yang bertanggung jawab terhadap umatnya di wilayahnya masing-masing. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana kelanjutan kekuasaan kepemimpinan TQN, sepeninggal Kyai Asrori? Apakah para imam khususi itu, sementara mereka tidak diberi kewenangan untuk mengangkat murid?

Nampaknya, Kyai Asrori mencoba membuat system baru dalam keorganisasian tarekat. System baru itu berbentuk sebuah organisasi modern yang memiliki struktur dan pembagian kerja, yang jelas-jelas kolektif – kolegial. Demokratisasi pun juga melekat dan system ini, dan akan sangat berbeda dengan system kepemimpinan tarekat sebelumnya.

Namun yang lebih menarik lagi, mursyid tarekat masih berpusat padanya. Dengan demikian, sampai kapan pun posisi tertinggi dari kepemimpinan TQN Usmaniyah, tetap akan mengacu kepadanya. TQN Usmaniyah akan terus berkembang melalui para Imam Khususi yang akan terus bertambah, mengikuti perkembangan jama‟ah al-Khidmah. Dari sini, persoalan keumatan (khususnya jama‟ah TQN) akan dapat terayomi dan terpelihara dengan baik.

Pilar V: Kekeluargaan

Satu hal yang dipesankan Kyai Asrori berkenaan dengan keluarganya, yaitu tentang tempat pemakaman. Selain itu tidak ada yang dikhususkan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya. Sesuai dengan bunyi ketetapan lima pilar utama, bahwa yang dimaksud dengan keluarganya adalah Istri dan putra-putrinya. Akan tetapi, Kyai Asrori telah memberikan suatu pengertian yang sama sekali berbeda dengan yang pernah ada. Ketika berbicara tentang kekeluargaan, maka dapat ditelusuri melalui term „jama‟ah‟ dalam istilah “Jama‟ah al-Khidmah”. Term Jamaah, yang ditulis dengan ”J” (huruf besar) menunjuk kepada organisasi atau keluarga besar yang meliputi dewan penasehat, pengurus dan jama‟ah (dengan j huruf kecil). Sedang  jamaah dengan ”j” (huruf kecil) menunjuk pada anggota al-Khidmah, yang dikategorikan menjadi muridin, muhibbin.

Menurut Kyai Asrori sendiri, bahwa istilah Jamaah di sini merujuk kepada seluruh keluarga, sedang istilah yang merujuk pada aspek keorganisasiannya, merujuk kepada pengelolaan organisasi secara profesional. Sementara istilah al-Khidmah mengacu kepada pelayanan yang memang sangat ditekankan di dalam jamaah ini. Baik pelayanan dalam pengertian ruhaniah, maupun pelayanan dalam bentuk jasmaniah. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa secara umum, jama‟ah al-Khidmah adalah keluarga besar Kyai Asrori. Meski ada perbedaan ”J” Besar dan ”j” Kecil. Secara kekeluargaan, tentu jama‟ah ini merupakan satu ikatan yang kuat dalam TQN Usmaniyah Kyai Asrori.

Demikian ketentuan lima pilar utama yang merupakan pemikiran kyai Asrori al-Ishaqy, yang sampai saat ini tetap dijadikan sebagai soko guru dalam menjalankan aktifitas oleh kelima pilar yang telah ditetapkan oleh Kyai Asrori. Kelima pilar tersebut adalah TQN Usmaniyah, Pesantren Al-Fithrah, Yayasan Al-Khidmah, Jama‟ah al-Khidmah, dan Keluarganya.

RITUAL TOLAK BALAK TRADISI PONPES LIRBOYO: SHOLAWAT DA’FIL BALA’

 

Kediri mendapat julukan “kota santri”, karena saking banyaknya pondok pesantren yang ada di daerah ini. Salah satu pondok pesantren yang terkenal dan terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo. Berikut ini sekelumit sejarah Pondok Pesantren Lirboyo yang kini telah berusia satu abad lebih.

Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo. Berdiri pada tahun 1910 M. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati. Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang.  Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.

Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil.

Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Kisah Berdirinya

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak.

Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama’ah sholat Jum’at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.

Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka  KH. Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.

Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.

Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.

Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon

Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .

Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada  KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang.

Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya.

Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo.

Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun.

Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh. Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri.

RITUAL TOLAK BALAK

Cara mengusir wabah penyakit atau pagebluk bisa dilakukan melalui berbagai macam cara. Bagi kalangan santri salaf, mengusir wabah dengan shalawat tidaklah asing. Bila pagebluk seperti demam, batuk, dan gatal yang menyerang ratusan santri, sang kiai terkadang mengajak santri-santrinya untuk membaca wirid dan doa-doa.

KH Idris Marzuki pengasuh pondok pesantren Lirboyo Kediri Jatim pernah menggalakkan ribuan santrinya untuk membaca shalawat sebanyak 1.217 kali sambil mengelilingi lokasi pesantren. Pelaksanaan ritual shalawat nabi itu untuk mengusir atau meruwat wabah penyakit (pagebluk) yang sedang melanda ratusan santrinya.

Shalawat yang dibaca adalah shalawat Daf’il Bala’. Shalawat ini dibaca  selama tujuh  hari sambil mengelilingi pondok. Hal ini pernah dilakukan 2 kali yaitu tahun 2004 dan 2008 dan hasilnya sembuh total sebagaimana diharapkan. Doa tolak bala massal itu menjadi amalan untuk mengusir pagebluk. Saat tengah malam tiba, ratusan santri berbaris di depan pondok. Mereka kemudian berjalan kaki berjalan mengelilingi pondok sambil mendengungkan sejumlah kalimat shalawat terhadap junjungan Nabi  Muhammad SAW.

Adapun shalawat yang dibaca adalah  ===LIKHAMSATUN UTHFI BIHA HARAL WABA ILHATIMA-ALMUSTHAFA WALMURTADLA WABNAHUMA WAFATIMA=== sebanyak 1.217 kali. Bagi kalangan santri di pesantren tradisional, shalawat tersebut sudah mafhum alias dipahami.

Pesantren Lirboyo yang sudah berdiri sejak 1910 itu kini memiliki lebih dari 10.000 santri dan dikenal banyak mencetak kyai yang kemudian juga mendirikan pesantren di pelosok nusantara. Sejak malam Jumat kemarin para santri digalakkan untuk membaca shalawat Nabi sebagai washilah untuk tolak balak terhadap semua musibah di Tanah air.

“Saat mengimami salat, Pak Kiai Idris Marzuki mendengar para santrinya batuk semua seperti tabuhan keroncong, akhirnya disuruh untuk melakukan ritual ini. Ini bisa dijadikan pagar gaib untuk menangkal wabah penyakit” kata juru bicara Ponpes Lirboyo, Khoirul Anam, di sekretaritat pondok.

Dulu malah pernah mengelilingi sampai ke kampung-kampung, tapi untuk saat ini hanya lokasi pondok saja. KH Ahmad Idris Marzuki mengatakan pelaksanaan ritual seperti itu merupakan  bentuk tolak bala’ dari ancaman segala macam musibah. Sebab, saat ini memang sedang musim wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Menurutnya, ritual seperti itu manjur untuk menangkal datangnya segala wabah penyakit. @@@

sumber: satuislam

Sunan Gunung Jati

Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.

Perjuangan Sunan Gunung Jati

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Sedangkan Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan Tubagus Pasai adalah Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut Lidah Orang Portugis......

Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung Jati.

Syarifah Muda’im dan puteranya Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Lahfi. Sehingga kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati. Tibalah saat yang ditentukan, pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena usia lanjut pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhan yaitu orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tetapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang putera yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota para wali  lainnya di mesjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya mesjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri sebagai raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Keslutanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunung Jati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan puteri Kaisar Cina bernama puteri Ong Tien. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunung Jati, puteri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah puteri Ong Tien ini membekali puterinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan puteri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Mesjid Cirebon kemudian dihiasi lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.

Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1980 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau isteri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid, diteruskan dengan membangun jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin memperluas kekuasaannya ke pulau jawa. Pelabuhan sunda kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Ada salah seorang pejuang Malaka yang ikut ke tanah jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud meneruskan perjuangannya di tanah jawa. Dan dimasa Sultan Trenggana ia diangkat menjadi panglima perang.

Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentuk arahnya.

Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putera Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Sebakingking. Dikemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Kurang lebih sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal didaerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.

Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah Sunan Gunung Jati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Disamping itu , pada setiap gerakan fisik dari ibadah Sholat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur, terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat lima waktu, maka orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh sehingga nama Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.

Di negeri naga itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan Jenderal Ceng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Sunan Gunung Jati berkunjung ke hadapan kaisar Hong Gie, pengganti kaisar Yung Lo dengan puteri kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunung Jati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan sholat tahajjud. Beliau hendak sholat di rumah tetapi tidak khusu’ lalu beliau sholat di mesjid, di mesjid juga belum khusu’. Beliau heran padahal bagi para wali, sholat tahajjud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunung Jati sholat diatas perahu dengan khusu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah sholat dan berdo’a.

Ketika beliau terbangun beliau merasa kaget. Daratan pulau jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau membuka praktek pengobatan. Pendudu Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan sholat. Setelah mengerjakan sholat mereka sembuh. Makin hari namanya makin terkenal, beliau dianggap sebagai sinshe yang berkepandaian tinggi terdengar oleh kaisar. Sunan Gunung Jati dipanggil keistana, kaisar hendak menguji kepandaian Sunan Gunung Jati sebagai tabib dia pasti dapat mengetahui mana seorang yang hamil muda atau belum hamil.

Dua orang puteri kaisar disuruh maju. Seorang diantara mereka sudah bersuami dan sedang hamil muda atau baru dua bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil. Hai tabib asing, mana diantara puteriku yang hamil? Tanya kaisar.

Sunan Gunung Jati diam sejenak. Ia berdoa kepada Tuhan.

Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab! Teriak kaisar Cina.

Dia! Jawab Sunan Gunung Jati sembari menunjuk puteri Ong Tien yang masih Perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikiann pula seluruh balairung istana kaisar.

Namun kemudian tawa mereka terhenti, karena puteri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutya.

Ayah! Saya benar-benar hamil.

Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal diperut Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut puteri cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.

Kaisar menjadi murka. Sunan Gunung Jati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunung Jati menurut, hari itu juga ia pamit pulau ke pulau jawa. Namun puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa.

Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dan barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li bang seorang menteri negara. Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunung Jati tatkala beliau berdakwah di Cina.

Dalam pelayarannya ke pulau jawa, mereka singgah di kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.

Ada apa ini? Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya.

Tetua masyarakat balik bertanya. Siapa yang bernama Pai Li Bang?

Saya sendiri, jawab Pai Li Bang.

Kontan Pai Li Bang digotong penduduk diatas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya.

Setelah duduk dikursi Adipati, Pai Li Bang bertanya, sebenarnya apa yang terjadi?

Tetua masyarakat itu menerangkan. Bahwa adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.

Dalam kebingungan itulah muncul Sunan Gunung Jati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.

Setelah berpesan begitu Sunan Gunung Jati meneruskan pelayarannya ke pulau jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum dengan gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke pulau jawa. Pai Li Bang tidak menolak keinginan gurunya, dia bersedia menjadi adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti menjadi nama kadipaten Pai Li Bang, dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.

Sementara itu puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke pulau jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunung Jati, tapi Sunan Gunung Jati sedang berada di Luragung. Puteri itupun menyusulnya. Pernikahan antara puteri Ong Tien denga Sunan Gunung Jati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon jangan lah merasa heran disana banyak ornamen cina dan nuansa cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari cina.

Wali songo selalu bermusyawarah apabila menghadapi suatu masalah pelik yang berkembang di masyarakat. Termasuk kebijakan dakwah yang mereka lakukan kepada masyarakat jawa.

Mula-mula sunan Ampel tidak setuju atas cara dakwah yang dilakukan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Namun Sunan Kudus mengajukan pedapatnya. Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan memberikannya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.

Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersbut sebanarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar Islam cepat diterima oleh orang jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam dengan lebih dahulu dan sedikit  demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hari menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincitr ke lembah musyrik.

Sunan Muria

Sunan Muria putra Dewi Saroh adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu.

Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.